Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : Kholil Said, M.S.I
Disusun Oleh :
Nisrina
Ade Safika (4117099)
Nur
Aviana (4117124)
KELAS
H
JURUSAN
EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena dengan rahmat,
karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami
dari mata kuliah Ilmu Tasawuf dengan tema “Sejarah dan Perkembangan Ilmu
Tasawuf II” ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Kami sampaikan terima kasih kepada Bapak Kholil Said,
M.S.I selaku dosen pembimbing dalam mata
kuliah Ilmu Tasawuf di IAIN Pekalongan yang telah memberikan tugas ini kepada
kami, serta kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan
makalah ini.
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan yang bersifat membangun demi memperbaiki makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Demikian
makalah ini kami susun, kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat baik
bagi diri kami sendiri maupun bagi orang yang membacanya guna menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai sejarah dan perkembangan ilmu tasawuf.
Pekalongan,
September 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tasawuf
adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek
spiritual dalam Islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan
aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan
akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana.
Orang
yang ahli dalam tasawuf disebut dengan seorang sufi. Seorang sufi menekankan
aspek rohaninya daripada aspek jasmaninya. Seorang sufi selalu berusaha untuk
dekat dengan Tuhannya. Dan untuk mencapai itu, terdapat tingkatannya, yaitu
tobat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, tawakkal, kerelaan, cinta, dan
makrifat. Melalui makalah ini, penulis akan mencoba membahas tentang sejarah dan
perkembangan ilmu tasawuf pada abad kelima, keenam, ketujuh Hijriyah dan
seterusnya.[1]
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu
Tasawuf pada abad ke-5 H ?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu
Tasawuf pada abad ke-6 H ?
3. Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu
Tasawuf pada abad ke-7 H ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan
ilmu Tasawuf pada abad ke-5 H.
2. Untuk mengetahui sejarah dan
perkembangan ilmu Tasawuf pada abad ke-6 H.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah dan
Perkembangan Ilmu Tasawuf Abad ke-5 H
Kaum sufi pada abad pertama dan
kedua Hijriah bercorak akhlaki, yakni pendidikan moral dan mental dalam rangka
pembersihan jiwa dan raga dari pengaruh-pengaruh duniawi. Pada abad ketiga dan
keempat Hijriah, ajaran mereka tidak hanya terbatas pada pembinaan moral,
menurut al-Taftazani, pada masa itu mereka telah membahas moral, tingkah laku
dan peningkatannya, pengenalan intuitif langsung kepada Allah dan sebagainya.[2]
Menurut al-Taftazani, ketika itu
terdapat dua aliran tasawuf. Pertama,
aliran para sufi yang mempuyai paham moderat. Ajarannya selalu merujuk
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Atau dengan kata lain, tasawuf aliran ini
selalu bertandakan timbangan syari’ah. Sebagian sufinya adalah ulama terkemuka
dan tasawufnya didominasi ajaran-ajaran moral. Kedua, aliran para sufi yang
mengakui adanya fana’. Mereka itu sering mengucapkan kata-kata ganjil,
yang dikenal dengan syatabat. Mereka mengajarkan konsep tentang hubungan
manusia dengan Allah, seperti ittihad dan hulul. Atau paling
tidak, ajaran tasawuf mereka bertandakan beberapa kecendurungan metafisis.[3]
Memasuki
abad V Hijriah, aliran pertama, yakni aliran tasawuf sunni dimana para
penganutnya memagari tasawuf mereka dengan al-Qur’an dan as-Sunnah serta
mengkaitkan keadaan dan tingkatan rohani mereka pada keduanya, terus tumbuh dan
berkembang. Sebaliknya aliran kedua, yakni aliran tasawuf falsafi dimana para
pengikutnya cenerung pada ungkapan-ungkapan ganjil dan bertolak dari kondisi fana’
menuju kenyataan terjadinya ittihad
ataupun hulul, mulai tenggelam.[4]
Tenggelamnya
aliran kedua pada abad V Hijriah itu, menurut al-Taftazani pada dasarnya hanya
dimungkinkan oleh berjayanya aliran teologi ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,
karena keunggulan Abu Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) atas aliran lainnya, dengaan
kritiknya yang keras terhadap keekstreman tasawuf Abu Yazid al-Bustami dan
al-Hallaj maupun para sufi yang lain yang ucapan-ucapannya terkenal ganjil,
termasuk kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya yang
mulai timbul di kalangan kaum sufi.[5]
Dengan
demikian, kaum sufi pada abad V cenderung mengadakaan pembaharuan, yakni dengan
mengembalikan tasawuf ke landasan al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Qusyairi dan dan
al-Harawi dipandang sebagai tokoh-tokoh sufi yang paling menonjol di abad ini,
yang membawa tasawuf ke arah aliran Sunni. Kemudian, metode mereka berdua dalam
hal pembaruan tersebut diikuti oleh al-Ghazali pada penggal kedua abad itu.
Karena itu, pada abad V Hijriah ini, tasawuf Sunni berada pada posisi yang
menentukan, yang memungkinkannya tersebar luas di kalangan umat muslim dan membuat
fondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka lama dalam berbagai masyarakat
muslim.[6]
Dari
kutipan di atas, tampak bahwa tasawuf falsafi dipandang telah menyimpang dari
ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun jika kita perhatikan ajaran-ajaran mereka
dari sudut nakli, ternyata bahwa mereka tetap melandaskan ajarannya pada
al-Qur’an dan as-Sunnah, hanya saja penafsiran dan keterangan mereka terhadap
ayat atau hadis yang mereka gunakan berbeda dengan penafsiran dan keterangan
orang lain. Sebagai contoh, betapa kerasnya Abu Yazid mengecam orang yang tidak
terlihat berbuat menurut Sunnah Nabi. Ia diberitahu tentang seseorang yang
dipandang masyarakat sebagai zahid atau wali. Ketika orang itu
dilihat oleh Abu Yazid meludah ke arah kiblat dalam suatu masjid (berarti tidak
sesuai dengan petunjuk Sunnah), maka segera ia berkomentar bahwa orang itu
tidak dapat dipercaya. Jadi perbedaan kaum sufi dengan orang lain tidak
terletak pada inti ajaran Islam, tetapi terletak pada pemahaman terhadap nas
yang digunakan.[7]
Tokoh-tokoh Sufi Terkemuka
Abad Kelima Hijriah antara lain :
- Al-Qusyairi
Nama lengkapnya adalah ‘Abd Karim
bin Hawazin al-Qusyairi. Dia dilahirkan pada tahun 376 H di Istawa, kawasan
Nishapur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Dapat dikatakan,
Al-Qusyairi terkenal karena ia menulis sebuah risalah tentang tasawuf, yang
diberi nama Al-Risalah al-Qusyairiyah, yang isinya ditujukan untuk
mengadakan perbaikan terhadap ajaran-ajaran sufi yang pada waktu itu telah
banyak menyimpang dari sumber Islam.[8]
- Al-Harawi
Nama
lengkapnya adalah Abu Ismail ‘Abdullah bin Muhammad al-Anshari. Beliau lahir
tahun 396 H di Herat, kawasan Khurasan. Di antara karya-karyanya tentang
tasawuf yang paling terkenal adalah Manazil al-Sa’irin ila Rabb Al-‘Alamin.
Dalam karyanya yang ringkas ini, beliau menguraikan tingkatan-tingkatan
rohaniah para sufi, dimana tingkatan-tingkatan itu menurutnya mempunyai awal
dan akhir.[9]
- Al-Ghazali
Nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
al-Tusi al-Syafi’i, dan lebih dikenal dengan nama al-Ghazali. Ia menguraikan jalan-jalan tasawuf, cara mendekatkaan
diri kepada Allah, dalam karya agungnya Ihya ‘Ulum al-Din. Dapat
dikatakan bahwa karyannya yang terakhir ini adalah uraian tentang jalan bagi
seorang penempuh yang menuju Allah, sejak awal-mulanya berbagai fasenya dan
ujung akhirnya.[10]
2.2 Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tasawuf
Abad ke-6 H
Memasuki abad VI Hijriah, tasawuf falsafi yang muncul
pada abad III dan IV Hijriah dan tenggelam pada abad V Hijriah, muncul kembali
dalam bentuknya yang lebih sempurna.[11]
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Berbeda dengan
tasawuf Sunni, semisal tasawuf al-Ghazali, tasawuf falsafi atau filosofis
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis
tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran fisafat, yang telah
mempengaruhinya.[12]
Adanya
perpaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf filosofis ini,
dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf ini bercampur dengan
sejumlah filsafat ajaran-ajaran di luar Islam, seperti dari Yunani, Persia,
India, dan agama Nasrani. Akan tetapi orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap
tidak hilang, karena para tokohnya meskipun mempunyai latar belakang yang
berbeda dan beraneka, sejalan dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada
waktu itu, tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran mereka, terutama bila
dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini dengan
sendirinya bias menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini
begitu gigih mengkompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar
Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan
terminologi-terminologi filsafat, tetapi yang maknanya telah disesuaikan dengan
ajaran tasawuf yang mereka anut.[13]
Bila
tasawuf Sunni memperoleh bentuk yang final pada pengajaran al-Ghazali, maka
tasawuf falsafi mencapai puncak kesempurnaannya pada pengajaran Ibn Arabi (sufi
Andalusia, meninggal di Damaskus pada 638 H). dengan pengetahuannya yang amat
kaya, baik dalam lapangan keislaman maupun dalam lapangan filsafat, ia berhasil
menghasilkan karya tulis yang cukup banyak (diantaranya Al-Futuhat
al-Makiyah dan Fusus al-Hikam). Hampir semua praktek, pengajaran dan
ide yang berkembang di kalangan kaum sufi diliputnya dengan
penjelasan-penjelasan yang memadai. Ajaran sentral Ibn Arabi adalah tentang
kesatuan wujud (wahdah al-wujud) sebagaimana pernah disinggung di atas
dan akan diuraikan lebih detail pada pembahasan tentang tokoh-tokoh sufi dan
pokok-pokok ajarannya pada abad VI Hijriah dan seterusnya.[14]
Tasawuf
falsafi, karena telah dilengkapi oleh Ibn Arabi dengan paham wahdah al-wujud,
lazim juga disebut dengan tasawuf wahdah al-wujud atau tasawuf wujudiyah.
Melalui banyak sufi besar yang menjadi murid atau pengikutnya, seperti
al-Qunaawi (w. 673 H), al-Farqani (w. 700H), al-Kasyani (w. 730 H), al-Qaisari
(w. 751 H), Jalaluddin Rumi (w. 672 H), al-Jami (w. 898 H), al-Jili (w. 805 H)
dan lain-lain, tasawuf ini memperoleh tanah yang subur, terutama di Persia.
umumnya kalangan Syi’ah Isma’iliyah dan Syi’ah Duabelas dapat membenarkan paham
ini dan berbagai paham falsafi lainnya. Karena itu pulalah, tasawuf falsafi
biasa juga disebut sebagai tasawuf Syi’i, dengan pengertian tasawuf yang dapat
diterima oleh umumnya/kebanyakan kaum Syi’ah.[15]
Tokoh-tokoh sufi terkemuka abad keenam Hijriah antara
lain :
1.
Al-Suhrawardi al-Maqtul
Nama lengkapnya
adalah Abu al-Futuh Yahya bin Habsy bin Amrak, bergelar Syihabuddin dan dikenal
juga sebagai al-Hakim. Dia dilahirkan di Suhrawad sekitar tahun 549 H dan
dibunuh di halb (Aleppo), atas perintah Salahuddin al-Ayyubi, tahun 587 H.
Karyanya yang paling penting dan menguraikan ajaran tasawufnya secara jelas
hanyalah Hikmah al-Isyraq, yang berisi pendapat-pendapatnya tentang
paham tasawuf Isyraqi (iluminatif). Karya-karya pada umumnya cenderung
bersifat simbolik dan sukar dipahami, karena diungkapkan secara samar-samar.[16]
2. Muhyiddin ibn ‘Arabi
Nama
lengkapnya adalah Abu Bakr bin Muhammad bin Muhyiddin al-Ta’i al-Andalusi. Dia
lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H da meninggal tanggal 28 Rabiul Akhir 638
H. Ada dua buah karyanya yang sangat terkenal yang menggambarkan corak ajaran
tasawufnya, yaitu al-futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam. Menurut
Ibn ‘Arabi, kitabnya al-Futuhat al-Makkiyah adalah imla dari Tuhan dan
kitabnya Fusus al-Hikam adalah pemberian Rasulullah SAW.[17]
3. ‘Abd al-Karim al-Jili
Nama
lengkapnya adalah ‘Abd al-Karim bin Ibrahim al-Jili. Dia dilahirkan di
al-Jilli, pada tahun 767 H dan meninggal pada tahun 805 H. Kitabnya yang paling
terkenal yang menggambarkan ajaran tasawufnya, khususnya tentang konsep al-Insan
al-Kamil (manusia sempurna), berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah
al-Awakhir wa al-Awail.[18]
4. Ibn al-Farid
Nama
lengkapnya adalah Syarifuddin ‘Umar Abu al-Hasan ‘Ali; yang lebih dikenal
dengan Ibn al-Farid. Dia adalah seorang penyair sufi cinta Ilahi yang lahir di
Kairo pada tahun 576 H dan meninggal di tempat kelaahirannya pada tahun 632 H.
Sebagai seoran sufi yang cinta Ilahi yang paling menonjol dalam sejarah Islam,
Ibn al-Faraid telah mendedikasikan seluruh hidunya untuk cinta dan menjadikan
cinta tersebut sebagai poros utama puisi-puisinya dalam diwan yang
ditinggalkannya. Karena itu dia terkenal dengan gelar Sultan al-‘Asyiqin
(Sultan Para Pecinta), yang sekaligus menjadi nama karyanya.[19]
5. Jalaluddin al-Rumi
Nama
lengkapnya adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Bakhwi al-Qunuwi. Dia
lahir di Balkh pada tahun 604 H dan meninggal pada tahun 672 H di Qunyah. Dia
dipandang sebagai pendiri tarekat sufi terkenal yaitu tarekat al-Jalaliah, atau
al-Maulawiyah, yang sangat besar pengaruhnya sehingga diterjemahkan ke dalam
berbagai Bahasa Eropa dan juga mendapat komentar, baik dalam Bahasa Persia,
Turki, maupun Arab.[20]
2.4 Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tasawuf Abad ke-7 H dan Seterusnya
Periode abad ketujuh Hijriah dan seterusnya tidak
kalah penting dengan periode-periode sebelumnya. Sebab pada periode ini justru
tasawuf telah menjadi semacam filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat
Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturan-aturan, prinsip dan system khusus.
Dimana sebelumnya ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam
dunia Islam tanpa ada kaitanya satu sama lain.
Periode inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir
dinisbatkan bagi sejumlah pribadi sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh)
dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani. Mereka hidup
secara kolektif di berbagai zawiah, rabath, dan khanaqah (tempat-tempat
latihan), atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, serta
mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun ruhaniah yang teratur.
Tarekat secara etimologis berasal dari bahasa Arab,
thariqah yang berate al-khat fi al-syai (garis sesuatu), al-shirat dan al-sabil
(jalan). Kata ini juga bermakna al-hal (keadaan). Secara praktis, tarekat dapat
dipahami sebagai sebuah pengalaman yang bersifat esoteric (penghayatan), yang
dilakukan oleh seorang Muslim dengan menggunakan amalan-amalan berbentuk wirid
dan zikir yang diyakini memiliki mata rantai secara sambung menyambung dari
guru mursyid ke guru mursyid, lainnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Dan
bahkan sampai Jibril dan Allah. Mata rantai ini dikenal di kalangan tarekat
dengan nama silsilah (transmisi). Dalam tataran ini, tarekat menjadi sebuah
organisasi ketasawufan.
Sebagai organisasi tasawuf atau metode spiritual yang
praktis, tarekat memiliki metode yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lain. Ada yang menggunakan program penyucian jiwa, zikir, tafakur, meditasi,
mendengar musik dan menari, qiyamul lail dan lain-lain. Tetapi tujuan mereka
semuanya sama yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah semata (taqarrub ila
Allah).
Walaupun sejak jauh sebelumnya organisasi tarekat
telah hadir, seperti tarekat Junaidiyyah yang bersumber pada ajaran Abu
Al-Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H) atau tarekat Nuriyyah yang didirikan
oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), namun baru pada abad ketujuh
Hijriyah dan sesudahnya inilah tarekat berkembang pesat. Di sini akan
dipaparkan beberapa sampel tarekat-tarekat besar dan terkenal dalam dunia
Islam, diantaranya:
a.
Tarekat
Qadiriyyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Al-Jilani (w. 561 H). Al-Jilani
mengikuti fikih mazhab Hanbaliyyah dan menguasai tiga belas macam ilmu, seperti
fikih, ushul fikih, tafsir, nahwu, ilmu hadis dan sebagainya. Ia mengaitkan
tasawuf dengan Al-Quran maupun Sunnah. Tarekat tersebut tersebar luas sampai ke
Yaman, Syria, Mesir, India, Turki, Afrika, dan tetap berkembang sampai sekarang
di Mesir, Sudan, di bebagai kawasan Asia maupun Afrika.
b.
Tarekat
Rifa’iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i (w. 578 H) di kawasan Batha’ih. Ia
seorang yang sangat saleh dan bermazhab Syafi’i. Ajaran-ajaran tasawuf Ahmad
Rifa’i banyak diriwayatkan oleh Sya’rani yang meliputi tentang zuhud, ma’rifat
dan cinta. Tarekat Rifa’iyyah pun tersebar luas ke berbagai kawasan Islam dan
sampai sekarang masih berkembang di Mesir maupun dunia Islam lainnya.
c.
Tarekat
Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Al-Najib Al-Suhrawardi (w. 563 H) serta
Al-Suhrawardi Al-Baghdadi (w. 632 H). Al-Suhrawardi Al-Baghdadi mengarang kitab
tasawuf terkenal yaitu Awarif al-Ma’arif, yang berisi aturan-aturan tarekat
tersebut dan dia dipandang sebagai pendiri tarekat tersebut yang sebenarnya.
d.
Tarekat
Syadziliyyah yang didirikan oleh Abu Al-Hasan Al-Syadzili (w. 656 H) yang
berasal dari Tunisia kemudian mengembara ke Mesir dan menetap di Iskandariah.
Penerus Syadzili yang sangat terkenal adalah Abu Al-Abbas Al-Mursi, Ibn
Athaillah Al-Syakandari dan Ibn Abbad Al-Runda. Di bidang hukum, tarekat ini
mengikuti mazhab Maliki. Tarekat Syadziliyyah merupakan tarekat yang paling
layak disejajarkan dengan tarekat Qadiriyyah dalam hal penyebarannya.
e.
Tarekat
Ahmadiyyah yang didirikan oleh Sayyid Ahmad Al-Badawi (w. 675 H), yang berasal
dari Maroko, lalu merantau ke Makkah dan menetap di Mesir. Tareket ini
konsisten dengan Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Badawi
bahwa tarekatnya dibina oleh Al-Quran, Sunnah, kejujuran, kebeningan kalbu,
loyalitas, penanggungan derita, dan pemeliharaan janji. Tarekat ini berkembang
di Mesir sejak tokoh utamanya masih hidup hingga sekarang.
f.
Tarekat
Birhamiyyah yang berasal dari putra Mesir yaitu Ibrahim al-Dasuqi al-Qurysi (w
676 H). Al-Dasuqi, seperti tarekat-tarekat sebelumnya, sangat menekankan aturan
syariat. Baginya, syariat adalah pokok, sementara hakikat adalah cabang. Jika
syariat menghimpun seluruh ilmu yang diwajibkan, maka hakikat menghimpun
seluruh ilmu yang disembunyikan. Tarekatnya tersebar luas di Mesir, Syria, Hijaz,
Yaman dan Hadhramaut.
g.
Tarekat
Kubrawiyyah yang berasal dari Persia yaitu dari ulama Najmuddin Kubra (w. 618
H). Pada tarekat inilah Fariduddin Al-Atthar berafiliasi. Sementara itu di
Turkistan muncul tarekat Yasawiyyah yang dinisbahkan kepada Ahmad Al-Yasawi (w
562 H) dan di Asia Tengah muncul tarekat Syisytiyyah yang berasal dari
Mu’inuddin Hasan Al-Syisyti (w 623 H).
h.
Pada
abad-abad berikutnya bermunculan pula tarekat-tarekat lain yang tersebar luas
ke berbagai kawasan Islam, seperti Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Baha’
Naqsyaband Al-Bukhari (w. 791 H), tarekat Bektasyiyyah yang didirikan oleh Haji
Bektasyi (w 738 H), serta tarekat Maulawiyyah yang dinisbatkan kepada
Jalaluddin Rumi (w 1273 H). [21]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tasawuf
adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek
spiritual dalam Islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan
aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan
akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana.
Perkembangan tasawuf pada abad 5 H bisa dikatakan
sebagai kemunduran tasawuf falsafati dan berjayanya tasawuf amali-suni. Hal ini
didukung oleh keunggulan aliran asy’ariyah
dalam teologi yang sejalan dengan tasawuf Sunni, dan puncak kecemerlangan abad
ini pada masa Al Ghozali. Memasuki abad
VI Hijriah, tasawuf falsafi yang tenggelam pada abad V Hijriah, muncul kembali
dalam bentuknya yang lebih sempurna. Tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional penggagasnya.
Pada abad ke-7 H dan sesudahnya, tasawuf telah menjadi semacam filsafat hidup bagi
sebagian besar masyarakat Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturan-aturan,
prinsip dan system khusus. Pada periode inilah kata “tarekat” pada para sufi
mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah pribadi sufi yang bergabung dengan seorang
guru (syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan
ruhani.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
Ahmad Bangun dkk. 2013. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Asmaran.
2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
HS,
Nasrul. 2015. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta. Aswaja Pressindo.
Ali
Rif’an, https://makinmaju. wordpress.com, diakses pada 27 September 2018 Pukul
18.45.
[1] Ahmad
Bangun Nasution, dkk., Akhlak Tasawuf, Cetakan ke-1, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013), hlm. 12.
[2] Asmaran, Pengantar
Studi Tasawuf, Cetakan ke-2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.
257.
Comments
Post a Comment