ISU-ISU KEKINIAN dalam STUDI ISLAM
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Metodeologi Studi Islam
Dosen Pengampu :
Muhammad Khaqim,

Disusun
oleh:
- Nur Aviana (4117124)
- Sabilla Mardiyanti (4117138)
3. Khaolah Khasibah (4117265)
4. Atina Amaliyana (4117264)
Kelas :
Metodologi Studi Islam E
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN PEKALONGAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Mendengar dan lagi Maha Melihat dan atas
segala limpahan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “”
sesuai waktu yang telah direncanakan.
Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad
SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya yang selalu membantu perjuangan
beliau dalam menegakkan Dinullah di muka bumi ini.
Dalam
penulisan makalah ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik
moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
yang tiada hingganya kepada rekan dan teman yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua
pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya.
Hanya kepada Allah SWT kita
kembalikan semua urusan dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah
meridhai dan dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, Amin.
Pekalongan, 08
November 2018
Penulis
DAFTAR ISI
A. Demokrasi ....................................................................................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam menganjurkanmanusia untuk bekerja sama dan
tolong menolong (ta’awun) dengan sesamamanusia dalam hal kebaikan. Dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja
tanpabatasan ras, bangsa, dan agama. Namun proses tersebut dalam realisasinya
mengalami banyak kendala, seperti Fundalisme,
Radikalisme, Terorisme. Sikap Islam sebagai agama rahmatan lil alamin
sangatlah humanis dan relevan, tidak menggandalkan hal yang profane sebagai
keyakinan yang dimiliki penganutnya, akan tetapi juga tidak meninggalkan nilai
nilai universalsebagai pesan agama untuk senantiasa menjaga kedamaian
antarsesama umat manusia, dengan menumbuhkan toleransi, membangun solidaritas,
menegakkan demokrasi, menghimdari fanatisme dalam beragama. Maka pendidikan
Islam berwawasan kerukunanadalah pendidikan yang mampu menjadikan perbedaanya
sebagai alat untuk semakin menjadi pribadi yang taat dan tidak keluar dari
fitrahnya, yaitudengan mengajarkan bagaimana cara hidup ditengah pluralitas bangsanya,
agar mereka mampu hidup, baik dalam internal kelompoknya maupun eksternal
kelompok lain, dapat hidup damai dengan lingkungannya, memaknai perbedaan yang
secara bijaksana dan tepat. Sehingga dalam makalah ini akan di kaji lebih jauh
mengenai isu isu yang ada menyangkut demokrasi, pluralism dan kulturalisme.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan
Demokrasi?
2. Apa yang
dimaksud dengan Pluralisme?
3.
Apa yang dimaksud dengan Kulturalisme?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Dapat
mendeskripsikan Demokrasi.
2. Dapat
mendeskripsikan Pluralisme.
3. Dapat
mendeskripsikan Kulturalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Demokrasi
1.
Pengertian
Demokrasi
Demokrasi
secara etimologis terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani demos yang berarti rakyat, dan cratos yang
berarti kekuatan atau kekuasaan. Demokrasi bisa berarti kekuasaan
yang ada pada tangan rakyat[1], sehingga
dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[2]
Sedangkan
pengertian demokrasi secara terminologi adalah seperti yang dinyatakan Sidney
Hook, bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan
pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada
kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.[3]
Istilah
Demokrasi sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu
bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan
berada di tangan orang banyak yang disebut dengan istilah rakyat.[4]
a)
Demokrasi
Tradisional
Menurut
Khoiridin Nasution dalam
bukunya pengantar study islam, bahwa
sistem demokrasi pertama kali diterapkan di Yunani, sistem ini mulai berlaku
sejak abad 6,5 dan 4 SM. Hanya saja harus dicatat bahwa demokrasi di Yunani
kuno (Greek State) berbeda dengan demokrasi modern.
meskipun
sistem pemerintahan yang dilakukan Yunani menurut catatan sejarah disebut
sistem demokrasi tetapi sesungguhnya tidak semua rakyat dilibatkan dan tidak
semua orang tinggal di kota tersebut memiliki hak pilih, dengan begitu, sistem
pemilihan dan pemerintahan yang ada pada waktu itu hanyalah sistem pemerintahan
yang dikuasai oleh sebagian rakyat, bukan seluruhnya[5]
(hak memilihnya hanya ditujukan kepada penduduk asli (citizen), sedangkan
penduduk di luar itu tidak berhak memberikan hak suara).
b)
Demokrasi Modern
Adapun
negara pertama di masa modern yang dicatat sebagai pelopor demokrasi adalah
Inggris, Prancis, Spanyol. Parlemen Inggris misalnya, tahun 1295 menemukan
sistem tingkat pertama yakni bahwa setiap daerah harus memilih dua kesatria,
dua warga kota dan dua wakil dari kelompok penguasa ekonomi (borjuis). Tahapan
kedua, munculnya Magna Charta diubah bentuknya oleh parlemen menjadi prinsip,
bahwa raja terikat oleh undang-undang yang telah dibuatnya. Prinsip ini tentu
secara perlahan berusaha untuk memaksa raja untuk mematuhi peraturan.[6]
dalam
demokrasi modern setiap warga negara yang dewasa (cukup umur) mempunyai hak
pilih dan orang yang bisa hadir dan memberikan hak suara di dewan, hanyalah mereka
para wakil (sistem perwakilan).[7]
2.
Prinsip dan
Kriteria Demokrasi
Robert
A. Dahl menyebutkan ada 8 prinsip demokrasi, yaitu:
a. Kebebasan
untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi (the freedom to form and join organizations).
b. Kebebasan
mengeluarkan pendapat (freedom of
expression).
c. Hak
memilih (the right to vote).
d. Kesempatan
menjadi pejabat pemerintah (eligibility
for public office).
e. Hak
bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam mencari dukungan (the right of political leaders to compete
for support and votes)
f.
Sumber-sumber
informasi alternatif (alternative sources
of information [a free press]).
g. Pemilihan
umum yang bebas dan adil (free and fair
elections).
h. Lembaga
yang membuat kebijakan pemerintah tergantung pada perolehan suara dan
pengungkapan preferensi lainnya (institutions
for making government policies depend on votes and other expressions of
preference).[8]
Sementara
itu, untuk menentukan apakah suatu negara demokratis atau tidak, ada beberapa
kriteria atau parameter penilaian yang tidak terlalu kaku harus mengikuti
kedelapan prinsip di atas. Kriteria proses demokrasi ini sangat penting bagi
pemerintahan yang baik. Menurut Robert A. Dahlproses demokrasi yang ideal ada 5
kriteria, yaitu:
1) Persamaan
hak pilih
Setiap
warga negara mempunyai hak istimewa untuk menentukan keputusan terakhir.
2) Partisipasi
efektif
Setiap
warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan
hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.
3) Pembeberan
kebenaran
Semua
warga negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk melakukan
penilaian yang logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4) Kontrol
terakhir terhadap agenda
Masyarakat
harus mempunyai kekuasaan ekslusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus
dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga kriteria
pertama.
5) Pencakupan
3.
Pandangan Islam
terhadap Demokrasi
Berbicara
tentang sistem kenegaraan pemerintah dalam islam harus dibedakan antara teori
dan praktek. Maksud teori adalah konsep-konsep yang tertulis dalam nash
(Al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad SAW.) sementara praktek adalah praktek yang
dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah muslim. Perbedaan ini penting dipahami
lebih dahulu, sebab sebanyak-banyak kasus sistem pemerintahan yang berlaku
dalam sejarah Islam adalah tidak sejalan teori yang ingin dibangun islam
(teoritis).[10]
Berdasarkan
sejarah peradaban manusia, khususnya dibidang sistem pemerintahan, ada tiga
sistem yang sudah umum berlaku , yaitu sistem kekuasaan yang ada pada seluruh
rakyat (Demokrasi), kedua, sistem kekuasaan yang ada ditangan sebagian rakyat (Oligarki),
dan ketiga, kekuasaan yang berada ditangan seorang penguasa (Monarki).[11]
praktek
demokrasi dalam sejarah peradaban Islam, telah terlaksana seperti masalah
pergantian kepemimpinan kepala negara/pemerintah (suksesi). Bentuk suksesi yang
terjadi di kekuasaan Nabi Muhammad kepada Abu Bakar Al-Shidiq sebagai khalifah
pertama adalah hasil musyawarah kaum muslimin, yang ketika itu terdiri dari
kaum Ansor dan Muhajirin di Saqifah Bani Sa’adah. Kemudian peralihan dari Abu
Bakar kepada Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua adalah dengan penunjukkan
oleh khalifah sebelumnya dengan persetujuan kaum muslimin. Bentuk lain yang
muncul ketika peralihan dari Umar bin Khattab kepada Utsman bin Affan sebagai
khalifah ketiga adalah dengan sistem formatur. Adapun peralihan dari Utsman bin
Affan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat adalah dengan jalan aklamasi.
Selain itu, sejarah ini diwarnai dengan sistem pemerintahan yang monarki.[12]
Seperti
halnya Al-Ghazali berpendapat bahwa “umat sumber kekuasaan” ialah umat islam
sendiri yang berhak memilih orang-orang yang akan diberi kepercayaan mengurus
kepentingan mereka. Mereka berhak menuntut tanggung jawab atas pekerjaan yang
telah dilaksanakan oleh orang-orang yang mereka pilih. Mereka berhak mencela
dan memuji, berhak menghukum jika orang-orang yang dipilihnya itu berbuat
buruk, bahkan bila mau mereka
pun berhak memecatnya.
Penulis
sependapat dengan ungkapan Al-Ghazali bahwa umat sumber kekuasaan, sehingga
dapat disimpulkan bahwa islam yang lahir 14 abad yang lalu telah mengenal
sistem pemerintahan syura atau sekarang kita kenal demokrasi.[13]
4.
Hubungan Islam
dan Demokrasi
a.
Syura
(Musyawarah) Musyawarah dijelaskan dalam QS. As-Syura:38, yang berisi perintah
untuk menyelesaikan urusan dan masalah dengan cara bermusyawarah.
b.
Keadilan artinya dalam menegakkan Negara
termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara
adil dan bijaksana. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
dalam surat an-Nahl:90; as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58.
c.
Kesejajaran
(al-Musawah) artinya
tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat
memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap
rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu
pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Ayat
Al-Qur’an yang sering digunakan adalah QS. Al-Hujurat ayat 13.
d.
Kebebasan Untuk Hidup
ini dijelaskan pada (QS.Al-Isra’:33) yang menyebutkan bahwa manusia mempunyai
kemuliaan dan martabat yang tinggi dibandingkan mahluk yang lain, sehingga
manusia diberi kebebasan untuk hidup dan merasakan kenikmatan dalam
kehidupannya.
e.
Prinsip
Persamaan Dijelaskan pada (QS. Al-Hujurat ayat 13) yaitu pada dasarnya semua
manusia itu sama, karena semuanya adalah hamba Allah, yang membedakan manusia
dengan manusia lainnya adalah ketakwaannya kepada Allah SWT.
f.
Kebebasan
Menyatakan Pendapat Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia agar mau dan berani
menggunakan akal pikiran mereka untuk menyatakan pendapat yang benar dan
dipenuhi rasa tanggung jawab.
g.
Kebebasan
Beragama Allah secara tegas telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk
menganut dan menjalankan agama yang diyakini kebenarannya, sehingga tak
seorangpun dapat dibenarkan memaksa orang lain untuk masuk Islam.[14]
B. Pluralisme
1. Perdebatan Pluralisme Agama Dalam Islam
Istilah
pluralisme atau paham kemajemukan pada sikap manusia terhadap pluralitas.
Menurut Mundzirin Yusuf dkk, mendefinisikan pluralisme sebagai “suatu pandangan
atau paham yang memiliki prinsip bahwa keanekaragaman itu jangan menghalangi
untuk bisa hidup berdampingan secara damai dalam satu masyarakat yang sama”.[15]
Dalam kebanyakan, pluralisme sering didefinisikan secara sederhana sebagai
sikap mengakui dan menerima kenyataaan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk.
Definisi ini mendapatkan kritik dari Budi Munawar Rachman, bahwa pluralisme
seharusnya, “lebih mendasar harus disertai dengan sikap tulus menerima
kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif, dan merupakan rachmat Tuhan
kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi
dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam”.[16]
Pluralisme merupakan suatu perangkat untuk mendorong pemerkayaan budaya bangsa.
Menurutnya, pluralisme tidak sekedar memahami dan mengatakan bahwa masyarakat
kita adalah “majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,
yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi”. Pluralisme semestinya juga
tidak dipahami hanya sebagai “kebaikan negatif”. Sebagai media menyingkirkan
fanatisme. Pluralisme selayaknya dipahami sebagai pengakuan sejati terhadap
realitas kebhinekaan dalam ikatan-ikatan kebudayaan, demi keslamatan umat
manusia itu sendiri.[17]
Allah
sendiri telah menyatakan bahwa realitas keragaman manusia dan masyarakat telah
menjadi sebagian dari kehendaknya. Dalam sebuah firman-Nya, Allah mengatakan,
“...Sekiranya Allah tidak menahan suatu golongan atas golongan yang lain,
niscaya binasalah bumi ini. Tetapi Allah penuh karunia atas semesta alam (Q.S
Al baqarah: 251).
Pengakuan atas kebinekaan ini sangat
dekat dengan perintah Allah kepada manusia untuk menegakkan keadilan terhadap
sesama, apapun alasannya, bahkan dalam keadaan benci sekalipun. Allah
berfirman, “orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, sebagai
saksi-saksi, karena Allah, janganlah kebencian orang kepadamu membuat kamu
berlaku tidak adil. Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, Allah tahu benar apa yang kamu kerjakan (Q.S. 5: 8)”.
Dunia diciptakan selalu berpasang-pasangan. Allah berfirman, “Dan Dia-lah Tuhan
yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya.
Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan
malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Q.S. Ar-Rad: 3).[18]
2. Pluralisme Agama
Pluralisme
agama (religious pluralism) adalah ide yang diusung oleh orang-orang
yang berpemahaman liberal. Zainal Arrifin Abbas mengatakan bahwa agama berasal
dari kata “a” dan “gama”, yang berarti tidak kacau, sebagai kata trend
pemikiran yang dibangun di atas dasar kebebasan berkeyakinan yang telah melabrak
salah satu pilar terpenting dalam kehidupan beragama, yaitu tentang klaim
kebenaran (truth claim) pada setiap agama yang diyakini pemeluknya.[19]
Berangkat
dari definisi pluralisme, maka pluralisme agama adalah “sebuah pandangan yang
mendorong bahwa berbagai macam agama yang ada dalam satu masyarakat harus saling
mendukung untuk bisa hidup
secara
damai.”[20]
Selama ini istilah pluralisme, terutama dalam bidang agama sering diidentikan
dengan barat. Pengalaman hidup toleran, pluralis, dan terbuka dalam masyarakat
Barat baru terjadi di kalangan internal Kristen. Masa lalu mereka terisi
oleh serangkaian peperangan panjang, 80 tahun sampai 100 tahun, sehingga harus
pindah dari Eropa ke Amerika. Perpindahan mereka sebagian tidak lain adalah
untuk menghindari penyiksaan dan tekanan-tekanan atas nama agama. Sebaliknya
justru Timur Tengah dengan Islamnya, jauh lebih terlatih hidup di dalam
pluralisme agama, yaitu Islam, Yahudi, dan Kristen. Di Timur Tengah, sejak dulu
mereka telah hidup berdampingan secara relatif damai. Berbagai bentrokan dan
konflik yang sering terjadi di kalangan masyarakat muslim terjadi karena
pengaruh orang-orang Barat itu sendiri. Selama ini orang Barat yang dianggap
pluralisme, belum menerapkan pandangannya itu dalam wilayah yang lebih luas,
yaitu hubungan antaragama.[21]
Ninian
Smart melihat ada lima cara
pandang keagamaan terhadap realitas pluralisme atau kebinekaan agama-agama. Pertama,
ekslusivisme absolut, yang melihat kebenaran hanya terdapat agamanya sendiri, sedang yang lain
dianggap salah. Kedua, relativisme absolut, yang melihat berbagai sistem
kepercayaan agama tidak dapat dibandingkan satu sama lain, karena orang menjadi
melihat kebenaran dari dalam masing-masing agama. Ketiga, inklusivisme
hegemonistik, yang
melihat ada kebenaran dalam agama lain, namun yang paling benar adalah agama
sendiri. Keempat, pluralisme realistik, yang melihat semua agama sebagai
jalan yang berbeda-beda dari satu kebenaran yang sama. Dan kelima, pluralisme
regulatif, yang melihat bahwa agama memiliki nilai-nilai kepercayaan
masing-masing yang mengalami evolusi historis dari perkembangan ke arah suatu
kebenaran bersama, hanya saja kebenaran bersama tersebut belum terdefinisikan.[22]
Sementara
itu, Hans Kung menyebut ada empat pandangan terhadap kebinekaan agama-agama,
tak ada satu agamapun yang benar (ateisme), hanya ada satu agama yang benar dan
semua agama lainnya tidak benar, setiap agama adalah benar (benar semua), dan
hanya ada satu yang benar yang menjadi induk kebenaran bagi agama lain.
Pandangan ateis dipegang
oleh beberapa tokoh seperti Feuerbach, Marx dan Freud. Bagi Feuerbach, esensi
agama terletak pada manusia, agama merupakan proyeksi manusia yang sama sekali
bersifat jasmani (ateisme antropologis), Marx menyebutkan sebagai isiologi kaum
borjuis, agama itu candu bagi masyarakat (ateisme sosio-politis) sementara
Freud menyebutkan sebagai ilusi yang tidak sehat (ateisme psikoanalitis).[23]
Kemudian
Hidayat menyebutkan lima tipologi sikap keagamaan yaitu, ekslusivisme,
inklusivisme, pluralisme, eklektisisme, dan universalisme. Ekslusivisme dalah
sikap keagamaan yang memandang bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama
yang dipeluknya, sedangkan agama yang lainnya sesat. Inklusivisme adalah sikap
keagamaan yang berpandangan bahwa si luar agama yang dipeluknya, juga terdapat
kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya.
Pluralisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa secara teologis,
pluralisme agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing
berdiri sejajar sehingga semangat missionaris dan dakwah dianggap tidak
relevan. Elektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih dan
mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk
dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang
bersifat eklektik. Universal adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa
pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya karena faktor
historis-antropologis,agama kemudian tampil dalam format.
Hendar riyadi memberikan kesimpulan
bahwa pada dasarnya ada tiga keagamaan, yaitu eksklusivisme, inklusivisme dan
paralelisme. Sksklusivisme menganggap agamanya sebagai satu-satunya jalan
keselamatan, inklusivisme menganggap agamnya yang paling benar tanpa
mengingkari eksistensi kebenaran yang ada pada agama lain karena sumber agama
yang sma (satu), dan pararelisme menganggap bahwa setiap agama mempunyai jalan
keselamatannya sendiri, yang pada akhirnya memliki kesejajaran agama.[24]
Begitu kompleksnya pandangan-pandangan tentang cara beragama dalam kaitannya
dengan kelompok agama lain, pada dasarnya secara sederhana sikap atau pandangan
tersebut dapat dipilih menjadi pro pluralisme (pluralis) dan anti pluralisme
(anti pluralis).
3. Hakikat Pluralisme Agama
Pada
hakikatnya, pluralisme agama adalah agama baru yang encoba meruntuhkan
nilai-nilai fundamental agama-agama, termasuk islam. Pluralisme meletakkan
kebenaran ga,a-agama sebagai kebenaran yang relatif dan menempatkan agama-agama
pada posisi setara, apa pun jenis agama itu. Pluralisme agama meyakini bahwa
semua agama adalah jalan-jalan yang sah menuju Tuhan yang sama. Paham ini
menyatakan bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang
mutlak, sehingga karena kerelatifannya, seluruh agama tidak boleh mengeklaim
atau meyakini bahwa agamanya yang lebih benar dari agama lain atau meyakini
hanya agamanya yang benar.[25]
Pluralisme
jelas bertolah belakang dengan Islam karena Allah SWT. Telah menyatakan dalam
Al-Qur’an sebagai berikut:
a.
Islam
satu-satunya Agama yang benar
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ
مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya;
“dan
barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di
akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran[3]: 85).
b.
Al-Qur’an
satu-satunya kitab suci yang harus diikuti
Manusia
juga hanya Allah boleh berhukum kepada Al-Qur’an dan wajib menjadikannya
sebagai pedoman hidup, serta meninggalkan kitab-kitab suci lainnya. Allah SWT
berfirman:
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا
مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُون
Artinya:
“Dan
kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa
kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
menjaganya, maka putuskanlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan
meninggalkan kenbenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara
kamu. Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap kurnia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”.
Semua
dalil tersebut sangat jelas menyatakan bahwa islam adalah satu-satunya agama
yang bnar. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang wajib dipedomani dan
Muhammad adalah satu-satunya utusan Allah. SWT. Yang harus diikuti. Siapapun
yang tidak menyakini semua ini, berarti kafir dan kelak di akhirat tidak akan
mendapatkan keslamatan.
Pluralisme
agama adalah ajakan pada kekufuran karena ia mengajak untuk melucuti keyakinan
paling fundamen dalam ajaran agama islam, prinsip yang sangat strategis untuk
membedakan seseorang yang mash dapat dikatakan sbagai muslim atau tidak. Oleh
karena itu, menggandeng pluralisme dengan ajaran Islam adalah suatu hal yang
kontradiktif. Akan tetapi, para ‘cendekiawan’ yang terpengaruh degan gaya dan
pemikiran Barat tetap mendukung pluralisme dan melakukan justifikasi
seolah-olah itu berasal dari Islam. Hingga tidak jarang mereka menyetit
ayat-ayat Al-Qur’an untuk memaskan syahwat liberalnya.[26]
c.
Ayat-ayat
AL-Qur’an sering dijadikan sebagai landasan untuk mendukung pluralisme agama
Berikut
adalah ayat ayng sering mereka jadikan sebagai “landasan” untuk mendukung
pluralisme beserta saggahannya.
1.
Ayat pertama
لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ
Artinya:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut)
agama (Islam)....” (Q.S. Al Baqarah [2]: 256)
Menurut
orang-orang liberal, ayat inimendukung pluralisme. Padahal, sama sekali tidak.
Ayat ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
menyatakan bahwa kita sebagai pemeluk agama Islam tidak boleh memaksakan
seseorang untuk masuk pada agama Islam. Mengapa? Pada lanjutan ayat ini
dijelaskan, “Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang
sesat”.
Selanjutnya,
Allah SWT, mneyatakan bahwa meskipun tidak ada paksaan untuk masuk pada agama
islam, bukan berarti pilihan seseorang untuk tidak memeluk agama Islam tidak
berkonsekuensi apa-apa. Orang yang memeluk Islam dinyatakan Allah SWT, telah
memegang pedomann yang benar, dan sebaliknya, orang yang tidak memeluk Islam
dengan kufur terhadap Allah SWT, maka ia berada dalam kesesatan. Hal ini jelas
tidak selaras dengan tafsir liberal yang mengatakan bahwa ayat in mengandung
pluralisme yang membenarkan seluruh agama.
2.
Ayat kedua
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ
رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya:
“sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang yahudi orang-orang Nasrani, dan
orang-orang Sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya,
tidak ada rasa takut kepada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 62).
Ayat
ini juga dapat dikatakan sebagai ayat yang mendukung pluralisme agama karena
ayat ini (katanya) menunjukkan pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Akan
tetapi, mari kita perhatikan bagaimana ahli tafsir menjelaskan makna sebenarnya
atas ayat ini.
Muhammad
bin Thahir bin Asyur menyatakan. “Maksud dari lafadz, siapa saja diantara
mereka yang benr-benar beriman kepada Allah” adalah iman yang sempurna, yaitu
mencangkuo iman kepada risalah Nabi Muhammad SAW, dengan indikasi
penempatannya, dan indikasi lafazh, dan beramal shaleh. “karena syarat
diterimanya amal saleh adalah iman secara syar’i, sesuai firman Allah, “kemudian
dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan
saling berpesan untuk berkasih sayang” (Q.S. Al-Balad [90]: 17). Allah
menganggap orang yang tidak beriman kepada risalah Muhammad, berarti ia sama
saja tidak beriman kepada Allah.” (At-Tahrir wa At-tanwir, 1995:539).
3.
Ayat ketiga
۞ شَرَعَ
لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا
الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا
تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي
إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
Artinya:
“Dia (Allah) telah mensyariatkan
kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami
wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepadamu
Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan
janganlah kamu berpecah belah didalamnya. Snagat berat bagi orang-orang (untuk
mengikuti) agama yang kamu serukn kepada mereka, Allah memilih ornag yang Dia
kehendaki kepda agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang
yang kembali (kepada-Nya).”
Ayat ini juga dikatakan termasuk
mendukung pluralisme agama karena dalam ayat ini disebutkan tentang syariat
nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Mereka mengatakan bahwa seluruh ajaran
nabi adalah sama maka agama-agama yang ada sekarangpun sama. Padahal, ayat ini
tidak menunjukan kebenaran paham pluralisme agama sama sekali. Memang benar
bahwa pokok ajaran para nabi seluruhnya adalah sama seperti yang disebutkan
dalam ayat ini. Semua nabi dan rasul yang diutus oelh Allah SWT, membawa ajaran
yang satu.
Syekh Bakr Zaid menyatakan bahwa
semua nabi memiliki tujuan pengutusan yang sama dalam tiga perkara.
1. Mereka
diutus dengan agama universal, yaitu penyembahan hanya kepada Allah SWT. Dan
tidak ada sekutu bagi-Nya dengan cara berdakwah pada tauhid dan berpegang teguh
pada tali agama-Nya yang kuat serta meninggalkan sesembahan yang lain.
2. Mereka
diutus untuk mengenalkan jalan untuk sampai pada tujuan tersebut dengan
mengajarkan tentang kenabian, serta syariat-syariat, seperti shaum, sholat,
zakat, jihad dan sebagainya berupa perintah dan larangan.
3. Mereka
juga diutus untuk menggambar yang akan terjadi ketika manusia berjumpa dengan
Allah SWT. kelak setelah meninggalkan surga dan neraka.
C. Kulturalisme
Islam kultural, atau yang biasa disebut
sebagai Islam lokal, merupakan diskursus kuno yang menyertai sejarah Islam di
Indonesia. Dikotomi tentang Islam kultural dan struktural begitu kuat menyertai
diskursus gerakan Islam yang masing masing diwakili oleh Muhammadiyah dengan
Amien Rais sebagai pioneer-nya dan
Nahdlatul Ulama dengan panglima kulturalnya Abdurrahman Wahid. Dalam
perkembangan berikutnya, setiap gerakan kultural yang disajikan oleh para
pemikir Islam di Indonesia selalu menemukan hambatan yang tidak ringan,
termasuk bagaimana mengakomodir nilai-nilai kultural sekaligus membumikan
nilai-nilai Islam.
Terlebih keinginan untuk berkiprah dalam
birokrasi pemerintahan yang sejak kemerdekaan 1945 itu terasa begitu kuat, di
mana umat Islam saat itu sangat sedikit yang ikut andil di dalamnya, apalagi
menjadi bagian dari decesion makers.
Pada zaman Orde Soekarno, bukan hanya hak-hak politik yang terasa tidak
terwakili, namun juga hak ekonomi tidak mendapatkan tempat yang layak
sebagaimana golongan Tionghoa.
Di masa Orde Baru, rezim ini berusaha
menggunakan birokrasi sebagai primum
mobile atau penggerak utama modernisasi dan pembangunan. Untuk itu
diupayakan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Mengalihkan wewenang pemerintahan ke
tingkat birokrasi yang lebih tinggi, yakni pemusatan proses pembuatan kebijakan
pemerintahan, (2) Membuat birokrasi efektif dan tanggap pada perintah pimpinan
pusat; (3) Memperluas wewenang pemerintah pusat dan mengendalikan daerah-daerah.
Dengan langkah-langkah kebijakan tersebut, terciptalah birokrasi Orde Baru yang
kuat dan berporos pada eratnya hubungan antara sipil dan militer.
Berikutnya, langkah strategis Orde Baru dalam
rangka melakukan modernisasi adalah dengan cara mendepolitisir Islam. Segala
bentuk Islam politik, secara perlahan dan pasti diberangus oleh rezim Orde
Baru. Dimulai dengan fusi partai Islam dalam PPP, dan kemudian kewajiban asas
tunggal telah memangkas habis kekuatan Islam politik dalam pentas nasional.
Dengan asas tunggal ini partai dan ormas Islam menerimanya dengan baik, karena
ada garansi dari Soeharto bahwa “Pancasila bukan agama dan agama tidak akan
dipancasila-kan”. Dengan ini Soeharto telah mengakhiri ketegangan konseptual
yang bersumber dari kekhawatiran adanya mitos penyejajaran (juxtaposition) antara agama dan
pancasila. Namun pada saat yang sama, rasionalisasi terhadap pancasila telah
mereduksi kekuatan-kekuatan politik yang melakukan ideologisasi dan politisasi
agama sebagai alternatif dari ideologi negara. Akibatnya dalam dekade 1980-an
terjadi kemerosotan pengaruh “kaum ideologis” Islam. Hal ini terjadi karena
ketidakberhasilan dari usaha sementara tokoh dan aktivis Islam yang menyerukan
penolakan terhadap penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi
organisasi politik dan organisasi massa.
Tidak mengherankan jika kemudian gerakan
Islam kultural dengan semangat inklusif sedemikian maraknya menghiasi
percaturan wacana era 80-an. Tokoh-tokoh seperti Ahmad Wahib, Nurcholis Madjid,
Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rahmat, Djohan Effendi menjajakan wacana Islam
inklusif yang anti-sektarianisme serta menolak Islam politik dan memihak
perjuangan Islam melalui dakwah kultural.
Sebenarnya, pada masa Orde Baru, gerakan
Islam subtansialis-inklusif sudah jauh lebih berpengaruh dibanding gerakan
Islam militan-radikal. Dukungan pemerintah, ditambah dengan represi terhadap
mereka, telah memberi peluang bagi gerakan Islam substansialis-inklusif untuk
mengeksploitasi gagasan-gagasan mereka. Lebih dari itu, kebijakan politik dan
kultural pemerintah Orde Baru telah mendorong pertumbuhan pesat komunitas
santri yang lebih besar dan lebih terdidik serta relatif lebih makmur. Lebih
penting lagi, banyak anggota kelompok yang mengalami mobilitas vertikal ini
bersikap simpatik terhadap posisi gerakan Islam substansialis-inklusif yang
memungkinkan mereka untuk menjadi Muslim yang saleh, sekaligus tidak mengundang
kecurigaan pemerintah sehingga mereka dituduh sebagai kelompok “ekstrem kanan”.
Pemerintah Orde Baru, sembari menekan segala
bentuk ekspresi politik Islam, sangat memberikan dukungan kepada pelaksanaan
aspek-asperk Islam yang murni ibadah. Sikap ini pada dasarnya sebangun dengan
kebijakan yang disarankan oleh Snouck Hurgronje seabad yang lampau, ketika ia
menjadi penasehat pemerintah Belanda. Banyak masjid dibangun dengan bantuan
pemerintah, perlombaan baca al-Qur‟ân (MTQ) yang disponsori pemerintah menjadi peristiwa penting, pelaksanaan ibadah haji difasilitasi dan
dikoordinir oleh pemerintah, para pejabat pemerintah memakai banyak terminologi
Islam dan mengutip teks-teks agama.[27]
Sejak lengsernya Orde Baru dari panggung
kekuasaan, masa transisi di Indonesia dimulai dengan perubahan sosio-politik
yang amat menentukan bagi masa depan bangsa. Kejatuhan rezim Orde Baru (1998)
membawa perubahan yang amat signifikan untuk menata kembali bangsa yang sedang
terpuruk secara ekonomi, sosial, dan politik. Hal ini disebabkan oleh lemahnya
pertumbuhan ekonomi dan rapuhnya ikatan sosial masyarakat, sehingga terjadi
banyak gejolak sosial dan meningkatnya suhu politik nasional.
Di tengah arus transisi yang memberikan
kebebasan dan keterbukaan kepada publik, sejatinya terjadi perubahan yang cukup
signifikan terhadap gerakan Islam di Indonesia, yakni gerakan Islam yang pada
masa Orde Baru tidak bisa muncul di pentas politik nasional. Kekuasaan Orde
Baru yang menekan gerakan Islam selama tiga dasawarsa ternyata tidak mampu
melemahkan gerakan Islam untuk bangkit kembali memperjuangkan aspirasi Islam
secara lebih luas.[28]
Momentum masa transisi yang tidak menentu
menjadikan gerakan Islam semakin menemukan titik kebangkitannya di tengah perebutan
kekuasaannya. Gerakan Islam yang sedang bangkit pasca Orde Baru
ditandai oleh perubahan struktural maupun kultural. Secara struktural seperti
PBB (Partai Bulan Bintang), PKU (Partai Kebangkitan Umat), PNU (Partai
Nahdlatul Ummat), PUI (Partai Umat Islam), Partai Masyumi Baru, PSII, PSII
1905, Masyumi (Partai Politik Islam Masyumi) dan PP (Partai Persatuan). PPP
(Partai Persatuan Pembangunan) yang sebelumnya telah eksis di masa Orde Baru
dengan asas pancasila akibat kebijakan rezim tentang kewajiban mencantumkan
asas pancasila bagi organisasi politik dan organisasi masyarakat (ormas), telah
merubah asasnya dengan Islam.
Berikutnya, muncul berbagai ormas Islam
seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah
(FKASW) yang kemudian populer dengan sebutan Laskar Jihad, al-Ikhwân
al-Muslimûn, Hizbut Tahrir, HAMMAS, dan Majelis Mujahidin menyusul gerakan
Islam lainnya yang sudah berdiri di masa Orde Baru seperti KISDI (Komite
Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam). Ormas-ormas yang muncul ini ditandai
dengan karakteristik yang formal, militan, dan radikal.
Dalam konteks global, dunia yang
tersekulerkan telah memaksa banyak pihak untuk menata ulang posisinya, termasuk
kalangan pemikir Islam. Sekularisasi telah melahirkan kesimpulan yang simple, yaitu modernisasi telah
meyebabkan merosotnya agama, baik dalam ranah sosial maupun individual. Hal itu
terjadi karena modernisasi telah melahirkan keperkasaan sekularisme di seluruh
tempat. Tapi menurut Peter L. Berger, pada saat yang sama modernisasi sendiri
telah membangkitkan gerakan sekularisasi tandingan yang kuat (powerful movements of counter-secularization). Selain itu sekularisasi pada
level masyarakat, sesungguhnya tidak berimbas pada sekularisasi pada level
kesadaran individu.
Di satu pihak, umat beragama, baik pihak
tradisional maupun ortodoks, membenarkan jalinan modernitas/sekularisasi, dan
mereka terusik dengan hal ini. Sebagian dari mereka melihat modernitas sebagai
lawan dan di manapun modernisasi tumbuh, mereka berupaya menegasikannya.
Sementara yang lain melihat modernitas sebagai suatu worldview yang tidak bisa dielakkan, di mana umat beragama mengadaptasi pandangan ini. Tegasnya, rejection dan adaptation adalah dua strategi yang terbuka bagi umat beragama
dalam sebuah dunia yang diangggap tersekulerkan ini.[29]
Dengan demikian Islam kultural menghadapi dua
tantangan internal dan eksternal. Tantangan internal adalah basis legitimasi
eksistensi Islam kultural terkait dengan validitas dan keabsahannya sebagai
Islam, di mana sedang terjadi penguatan Islam struktural dalam pentas politik
nasional. Dari sisi eksternal, Islam kultural tertantang untuk merumuskan ulang
paradigma kulturalnya agar mampu merespons wacana global yang memaksakan diri
memasuki sendi-sendi keberagamaan masyarakat Indonesia baik dalam konteks
sosial maupun individual.
1.
Kulturalisasi Politik
Istilah
Islam kultural sering digunakan untuk menyebut gerakan Islam yang membedakannya
dari Islam struktural. Keduanya merupakan penanda bagi apa yang disebut model
gerakan Islam Indonesia pada tahun 1980-an. Keduanya adalah model dari pilihan
strategi arus atas dan strategi arus bawah yang mewakili dua eksonen penting
saat itu yaitu Amien Rais dan Abdurrahman Wahid sebelum kedunya masuk ke
gelanggang politik secara langsung. Sebagai pilihan strategi maka sudah pasti
ditentukan Islam kultural dan Islam struktural itu ditentukanberdasarkan
pembacaan terhadap makna Isam dalam kaitannya realias sosio-kultural dan
realitas sosial politik yang dihadapi.[30]
Kebangkitan agama, di samping sebagai
fenomena lokal, adalah fenomena global. Setidaknya menurut Peter L. Berger ada
dua alasan untuk menjawab hal ini. Pertama,
modernitas cenderung memporak-porandakan kepastian-kepastian (certainity) yang telah diterima secara taken for granted oleh masyarakat
sepanjang zaman. Hal ini amat tidak disukai
oleh para penganut agama yang tidak bersikap toleran serta gerakan-gerakan
keagamaan yang menghendaki agar kepastian tersebut dapat dipertahankan. Kedua, pandangan sekuler tulen tentang
realitas memperoleh tempat sosial yang penting dalam kultur elit, sehingga
tidaklah mengejutkan kalau pandangan ini telah menimbulkan kemarahan dari
kalangan yang tidak ikut ambil bagian di dalamnya. Oleh karena itu
gerakan-gerakan agama yang berkecenderungan kuat anti sekuler dapat menarik
dukungan kelompok sakit hati yang kadang-kadang berbasis agak kurang agamis.[31]
Kenyatannya, gerakan Islam menemukan dirinya
dalam himpitan kepentingan-kepententingan antara mempertahankan eksistensi
sebagai salah satu kekuatan sosial yang selama ini dapat menjadi payung dari
sekian kelompok elit ataupun sebagai Islam yang di depannya dihadapkan pada
kekusaan negara yang diperebutkan secara bebas dan bahkan ia sendiri sedang
tidak terhalang untuk mendapatkannya.
Pembenaran kultural terhadap sistem politik
yang berlaku pada akhirnya menjadi penghalang yang paling ampuh dalam usaha
untuk berdamai dengan sejarah, berdamai dengan masa lalu. Sejarah dihadapi
dengan rasa tanpa dendam dan tanpa nostalgia. Itu artinya sebuah pergulatan
secara intelektual yang berawal dari kesenjangan antara citra diri dan struktur
realitas dan pengalaman yang pahit yang pada akhirnya menemukan kembali rasa
percaya kultural. Inilah bentuk pembebasan intelektual. Sekali hal ini
dilakukan maka cakrawala baru pun terbuka juga.[32]
Pemasungan politik yang dilakukan oleh Orde
Baru yang tidak memperbolehkan Islam dijadikan sebagai asas ternyata tidak
begitu saja menghabisi keinginan sebagian kelompok Islam untuk memanfaatkan
kebebasan yang dihamparkan di hadapannya. Keinginan menjadikan Islam sebagai
kekuatan politik tenyata menemukan momentumnya ketika Orde Baru beringsut dari
panggung kekuasaan.
Dalam kenyatannya tidak ada bentuk yang
monolitik tentang Islam yang berorientasi pada kekuasaan ini. Pertama, kelompok atau partai Islam
memang mencantumkan Islam sebagai asas sekaligus ingin memperjuangkan selain
aspirasi umat Islam dalam aspirasi dari simbol dan kekuatan Islam berupa
formalisasi Islam melalui produk-produk hukum. Pendeknya islamisasi menjadi
kata kunci untuk memahami kelompok ini. Pertama kali yang diusungnya adalah
pengesahan kembali Piagam Jakarta yang dianggap sebagai representasi dari
perjuangan Islam itu sendiri. Kelompok kedua, meskipun ia menjelma menjadi
kekuatan Islam ia tidak menggunakan simbol-simbol Islam sebagai agama. Namun
yang dilakukannya adalah memanfaatkan konstituen Muslim yang secara kultural
tercerahkan oleh pendidikan baik yang bersifat tradisionalis (pesantren) maupun
moderrnis (sekolah-sekolah umum). Kelompok ini tidak memperjuangkan simbol-simbol
Islam dan Piagam Jakarta agar diberlakukan kembali tetapi lebih memperjuangkan
konstituen yang ia ikat dalam kesadaran kultural.
Menurut Syafi’i Anwar dimensi politis dari Islam
kultural bersifat inklusif dan penetratif di tengah wacana pergumulan politik-kekuasaan
pada level negara. Atau menurut Amien Rais (1999) diartikulasikan sebagai high
politics, yaitu pengertian politik dalam arti yang luas yang melibatkan seluruh
komponen masyarakat sebagai variabel politik kebangsaan.[33]
Revitalisasi Islam kultural tampaknya merupakan
salah satu agenda penting bagi Islam Indonesia ke depan. Proyek revitalisasi
Islam kultural itu bukan hanya sebagai upaya untuk mengimbangi Islam politik.
Di atas segalanya revitalisasi Islam kultural merupakan proses pemihakan sekaligus
pemberdayaan Islam rakyat dalam rangka penciptakan negara demokratis dan
pemberdayaan civil society. Paper ini bertujuan untuk merekonstruksi Islam
kultural di Indonesia dan melihat dinamika dan tantangan yang dihadapi serta
revitalisasi yang dimungkinkan. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah: (1)
Untuk mengetahui geneologi Islam kultural di Indonesia (2) Untuk mengetahui
peta dan dinamika Islam kultural di Indonesia kon-temporer (3) Untuk mengetahui
tantangan yang dihadapi oleh gerakan Islam kultural (4) Untuk merumuskan
pilihan strategi bagi revitalisasi Islam kultural di Indonesia
2.
Agama dan Negara
Mengenai hubungan
agama dan negara dalam kehidupan kebangsaan kontemporer sudah barang tentu
harus diletakkan dalam konteks kebutuhan untuk mewujudkan kehidupan negara yang
lebih maju dan beradab. Ke-majuan dan keberadaban itu antara lain ditandai
dengan keseimbangan antara negara (state) dan masyarakat beradab (civil
society). Secara kon-septual dinamika keseimbangan negara dan civil society
akan ditentukan oleh model-model negara itu sendiri.
Berkaitan dengan ini setidaknya ada tiga model
teoritik kenegaraan. Pertama, teori instrumental yaitu teori yang memandang
negara sebagai alat. Menurut pandangan teori ini, negara adalah alat kekuatan
yang menguasai negara. Pandangan ini dianut oleh kalangan pluralis dan Marxis
klasik. Kaum pluralis berpendapat bahwa kebijakan negara hanya merupakan hasil
interaksi kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat. Sedangkan kaum Marxis klasik
memandang negara sekedar alat bagi kelas yang dominan. Louis Althuser misalkan,
cenderung memandang negara sebagai perangkat pe-nindasan. Dengan demikian
negara yang dibangun atas dasar kekuasaan yang ada padanya merupakan wujud
dominasi politik atas masyarakat dan negara selalu di atas masyarakat. Sebagai
suatu kesatuan perangkat (alat), negara tidak hanya mempunyai fungsi spesifik.
Negara mampu pula menciptakan fungsi umum sebagai perluasan-perluasan dan
fungsi esensial (yang ke-mudian menjadikan ia sebagai mekanisme represif) yakni
sebagai alat perjuangan kelas. Dalam fungsi itu negara berdiri sebagai kekuatan
intervensif dalam perjuangan kelas.[34]
Sebagaimana
yang dipahami oleh kalangan Marxis ortodok, sebagai perangkat dominasi kelas,
maka ada dua dimensi hakiki negara yakni: represif dan ideologis. Kedua dimensi
ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat intervensi perjuangan kelas.
Yang satu (dimensi represif) masuk dengan mamaksa sedang yang lain (dimensi
ideologis) masuk dengan mem-pengaruhi. Berangkat dari analisis inilah muncul
pembedaan antara perangkat negara represif (Represive State Aparatus/RSA) dan
perangkat negara yang ideologis (Ideological State Aparatus/ISA). Untuk
memperjelas pengertian dan pembedaan itu saya sengaja mengutip lebih banyak
teori Althuser tentang RSA dan ISA. Sifat RSA demikian menurut Althuser,
pertama-tama adalah menindas. Penindasan yang dilakukan ini selajutnya diberi
arti ideologis (seolah-olah dan bernilai sah). RSA ini langsung di bawah
kendali kelas penguasa yang ada dalam satu komando yang terlembagakan dalam
tugas-tugas yang resmi. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, RSA bersifat
sentralistis dan sistematis. RSA ini bagi Althuser identik dengan struktur
negara yang semata-mata berdiri sebagai penyangga kekuasaan yang sah dan
ekplisit. Keabsahan ini memungkinkan RSA menjangkau publik lebih luas dan gerak
hidupnya sendiri bersifat politik. Contoh dari RSA ini adalah birokrasi,
lembaga pengadilan dan militer.[35]
Sedangkan
mengenai ISA menurut Althuser memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: gerak
hidup ISA selalu ideologis. Yang ideologis itu demikian menurut Althuser kelak
akan represif, karena memang dimaksudkan demikian (memanipulasi kesadaran).
Berbeda dengan RSA, ISA tidak hanya ada dalam lingkup kekuasaan, tetapi bisa
dimiliki sebagai sarana menuju kekuasaan kelompok di luar kekuasaan. Wujud ISA
antara lain seperti institusi agama, institusi pendidikan dan sebagainya.
Kedua,
teori struktural tentang negara. Dalam perspektif struktural ini negara
dipandang memiliki kemandirian tetapi sifat relatif sebab ke-mandirian negara
itu keluar dari konfigurasi dari kekuatan-kekuatan yang ada. Dengan demikian
dalam pandangan teori ini dimungkinkan terjadi dan berlangsungnya perubahan
struktur dan bukan negara sendiri yang me-nentukan perubahan-perubahan itu.
Salah satu teori terkenal yang masuk dalam perspektif struktural ini adalah
teori Negara Otoriter Birokratik (NOB) yang dikemukakan oleh Guilermo O’Donnel.
Praktek otoriterianisme birokratik tidak adalah saatu praktek politik
kenegaraan dalam kaitannya dengan proses pembangunan kapitalis setelah terjadi
proses industrialisasi yang mendalam.
Dalam
konteks kebutuhan untuk mengamankan industrialisasi yang kapitalistik, negara
diharuskan untuk memobilisasi civil society dengan mem-pertaruhkan partisipasi
masa. Dengan melakukan hal ini negara menjadi semakin tergantung pada birokrasi
(baik militer maupun sipil), kaum teknokrat dan modal asing yang sangat
diperlukan untuk memelihara aku-mulasi modal domestik, pertumbuhan ekonomi dan
ekspansi pasar. Akibat-nya peran militer dan teknokrat menjadi sangat dominan
pada negara otoriter birokratik ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan islam berwawasan kerukunan mengajarkan
bagaimana cara hidup ditengan pluralitas bangsanya, agar mereka mampu hidup,
baik dalam internal kelompoknya maupun eksternal, kelompok lain, dapat hidup
damai dengan lingkungannya, memaknai perbedaan yang secara bijaksana dan tepat
untuk menjadi manusia cerdas dalam perspektif pendidikan islam yaitu manusia
yang mampu menjadikan perbedaannya sebagai alat untuk semakin menjadi pribadi
yang taat dan tidak keluar dari fitrahnya. Kerukunan berarti menerima adanya
keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan
seperti menghormati hak asasi orang lain, berusaha membangun perdamaian, saling
mengasihi dan menyayangi, menghargai perbedaan, serta peduli dengan keberadaan
yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Rajali,Ahmad : Isu Isu Actual dalam Islam, www.academia.com, diakses
pada 10 November 2018, pukul 18:48 WIB.
Ridho,Fahrur : HAM dala Demokrasi, www.academia.com, diakses
pada 10 November 2018, pukul 18.18 WIB.
Ubaedillah, Ahmad dan Abdul Rojak, 2008, demokrasi,hak
asasi manusia dan masyarakat madani(Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah)
Rasya, Ayu : Studi Islam dan Isu-Isu Aktual:
Islam, Demokrasi, dan Pluralisme, http://ayuyasizanwar.blogspot.com
, diakses pada 10 November 2018, pukul 18.56 WIB.
Fakhruddin al razi,Muhammad :STUDI ISLAM DAN
ISU-ISU AKTUAL ISLAM,DEMOKRASI DAN PLURALISME, http://dewasalahmenyikapisegalahal.blogspot.com,diakses
pada 10 November 2018, pukul 19.03 WIB.
Imran, Dahlil : Demokrasi Pluralisme sebagai
Model Demokrasi Modern, www.academia.com,
diakses pada 10 November 2018, pukul 19.18 WIB.
Lubis, Ridwan,
2005, Cetak Biru Peran Agama :
Merajut Kerukunan Kesetaraan Gender dan Demokratisasi dalam
Masyarakat Multikultural. (Jakarta: Departemen Agama Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama).
[1]Ahmad Rajali, “Isu Isu Actual
dalam Islam”, www.academia.com,
diakses pada 10 November 2018, pukul 18:48 WIB.
[2]Fahrur Ridho, “HAM dalam Demokrasi”, www.academia.com, diakses
pada 10 November 2018, pukul 18.18 WIB.
[3]A. Ubaedillah dan Abdul
Rojak, demokrasi,hak asasi manusia dan masyarakat madani(Jakarta:ICCE
UIN Syarif Hidayatullah,2008)cet. III, hlm. 39.
[4]Fahrur Ridho, “HAM dala
Demokrasi”, www.academia.com,
diakses pada 10 November 2018, pukul 18.18 WIB.
[5]Ayu Rasya, “Studi Islam da
Isu-Isu Aktual: Islam, Demokrasi, dan Pluralisme” http://ayuyasizanwar.blogspot.com
, diakses pada 10 November 2018, pukul 18.56 WIB.
[6] Muhammad
Fakhruddin al razi, “STUDI ISLAM DAN ISU-ISU AKTUAL ISLAM, DEMOKRASI DAN PLURALISME, http://dewasalahmenyikapisegalahal.blogspot.com,diakses
pada 10 November 2018, pukul 19.03 WIB.
[7]Ayu Rasya, “Studi Islam da
Isu-Isu Aktual: Islam, Demokrasi, dan Pluralisme” http://ayuyasizanwar.blogspot.com
, diakses pada 10 November 2018, pukul 18.56 WIB.
[8]Fahrur Ridho, “HAM dala
Demokrasi”, www.academia.com,
diakses pada 10 November 2018, pukul 18.18 WIB.
[9]Dahlil Imran, “Demokrasi Pluralisme sebagai Model Demokrasi
Modern”, www.academia.com,
diakses pada 10 November 2018, pukul 19.18 WIB.
[10]Muhammad
Fakhruddin al razi, “STUDI ISLAM DAN
ISU-ISU AKTUAL ISLAM, DEMOKRASI
DAN PLURALISME”,http://dewasalahmenyikapisegalahal.blogspot.com,diakses
pada 10 November 2018, pukul 19.03 WIB.
[11]Ayu
Rasya, “Studi Islam da Isu-Isu Aktual:
Islam, Demokrasi, dan Pluralisme” http://ayuyasizanwar.blogspot.com
, diakses pada 10 November 2018, pukul 18.56 WIB.
[12]Muhammad
Fakhruddin al razi, “STUDI ISLAM DAN
ISU-ISU AKTUAL ISLAM, DEMOKRASI
DAN PLURALISME”,http://dewasalahmenyikapisegalahal.blogspot.com,diakses
pada 10 November 2018, pukul 19.03 WIB
[14]Ridwan Lubis Cetak Biru Peran Agama : Merajut Kerukunan
Kesetaraan Gender dan Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural. (Jakarta: Departemen
Agama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama,
2005).
[16] Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedia
Nurcholish Madjid, (Jakarta: Mizan,2006), hlm.2694.
[17] Ibid., hlm.2694.
[18] Khadziq, Op.cit., hlm.
223.
[19] Koko Abdul Kodir, Metodeologi
Studi Islam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA: 2014), hlm.251.
[20] Ibid., hlm. 223.
[21] Budhy Munawar Rachman, Op.cit.,
hlm. 2696.
[22] Khadziq, Op.cit., hlm.
224.
[23] Hendar Riyadi, Melampaui
Pluralisme: Etika Al-Qur’an tentang Keragaman Agama , (Jakarta: R.M.
Books:2007), hlm. 85-86.
[24] Ibid., hlm. 87-88.
[25] Koko Abdul Kodir, Op.cit.,
hal. 251-252.
[26] Ibid., hal. 253.
[27] M. Qomarul Huda, Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (Stain) Kediri , 2018, hlm. 151.
Comments
Post a Comment