Skip to main content

Makalah Isu-isu Kekinian dalam Studi Islam


ISU-ISU KEKINIAN dalam STUDI ISLAM
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Metodeologi Studi Islam
Dosen Pengampu : Muhammad Khaqim,




Disusun oleh:
  1. Nur Aviana                      (4117124)
  2. Sabilla Mardiyanti            (4117138)
3.     Khaolah Khasibah            (4117265)
4.     Atina Amaliyana              (4117264)

Kelas : Metodologi Studi Islam E

JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN PEKALONGAN
2018

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Mendengar dan lagi Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “” sesuai waktu yang telah direncanakan.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya yang selalu membantu perjuangan beliau dalam menegakkan Dinullah di muka bumi ini.
Dalam penulisan makalah ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tiada hingganya kepada rekan dan teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya.
Hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua urusan dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah meridhai dan dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, Amin.



Pekalongan, 08  November  2018


  Penulis





DAFTAR ISI


A. Demokrasi ....................................................................................................... 3









BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Islam menganjurkanmanusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesamamanusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpabatasan ras, bangsa, dan agama. Namun proses tersebut dalam realisasinya mengalami banyak kendala, seperti Fundalisme, Radikalisme, Terorisme. Sikap Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sangatlah humanis dan relevan, tidak menggandalkan hal yang profane sebagai keyakinan yang dimiliki penganutnya, akan tetapi juga tidak meninggalkan nilai nilai universalsebagai pesan agama untuk senantiasa menjaga kedamaian antarsesama umat manusia, dengan menumbuhkan toleransi, membangun solidaritas, menegakkan demokrasi, menghimdari fanatisme dalam beragama. Maka pendidikan Islam berwawasan kerukunanadalah pendidikan yang mampu menjadikan perbedaanya sebagai alat untuk semakin menjadi pribadi yang taat dan tidak keluar dari fitrahnya, yaitudengan mengajarkan bagaimana cara hidup ditengah pluralitas bangsanya, agar mereka mampu hidup, baik dalam internal kelompoknya maupun eksternal kelompok lain, dapat hidup damai dengan lingkungannya, memaknai perbedaan yang secara bijaksana dan tepat. Sehingga dalam makalah ini akan di kaji lebih jauh mengenai isu isu yang ada menyangkut demokrasi, pluralism dan kulturalisme.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan Demokrasi?
2.      Apa yang dimaksud dengan Pluralisme?
3.      Apa yang dimaksud dengan Kulturalisme?


C.     Tujuan Penulisan Makalah

1.      Dapat mendeskripsikan Demokrasi.
2.      Dapat mendeskripsikan Pluralisme.
3.      Dapat mendeskripsikan Kulturalisme.





























BAB II

PEMBAHASAN

A.     Demokrasi

1.      Pengertian Demokrasi
Demokrasi secara etimologis terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani demos yang berarti rakyat, dan cratos yang berarti kekuatan atau kekuasaan. Demokrasi bisa berarti  kekuasaan yang ada pada tangan rakyat[1], sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.[2]
Sedangkan pengertian demokrasi secara terminologi adalah seperti yang dinyatakan Sidney Hook, bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.[3]
Istilah Demokrasi sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak yang disebut dengan istilah rakyat.[4]
a)      Demokrasi Tradisional
Menurut Khoiridin Nasution dalam bukunya pengantar study islam, bahwa sistem demokrasi pertama kali diterapkan di Yunani, sistem ini mulai berlaku sejak abad 6,5 dan 4 SM. Hanya saja harus dicatat bahwa demokrasi di Yunani kuno (Greek State) berbeda dengan demokrasi modern.
meskipun sistem pemerintahan yang dilakukan Yunani menurut catatan sejarah disebut sistem demokrasi tetapi sesungguhnya tidak semua rakyat dilibatkan dan tidak semua orang tinggal di kota tersebut memiliki hak pilih, dengan begitu, sistem pemilihan dan pemerintahan yang ada pada waktu itu hanyalah sistem pemerintahan yang dikuasai oleh sebagian rakyat, bukan seluruhnya[5] (hak memilihnya hanya ditujukan kepada penduduk asli (citizen), sedangkan penduduk di luar itu tidak berhak memberikan hak suara).
b)      Demokrasi Modern
Adapun negara pertama di masa modern yang dicatat sebagai pelopor demokrasi adalah Inggris, Prancis, Spanyol. Parlemen Inggris misalnya, tahun 1295 menemukan sistem tingkat pertama yakni bahwa setiap daerah harus memilih dua kesatria, dua warga kota dan dua wakil dari kelompok penguasa ekonomi (borjuis). Tahapan kedua, munculnya Magna Charta diubah bentuknya oleh parlemen menjadi prinsip, bahwa raja terikat oleh undang-undang yang telah dibuatnya. Prinsip ini tentu secara perlahan berusaha untuk memaksa raja untuk mematuhi peraturan.[6]
dalam demokrasi modern setiap warga negara yang dewasa (cukup umur) mempunyai hak pilih dan orang yang bisa hadir dan memberikan hak suara di dewan, hanyalah mereka para wakil (sistem perwakilan).[7]


2.      Prinsip dan Kriteria Demokrasi
Robert A. Dahl menyebutkan ada 8 prinsip demokrasi, yaitu:
a.       Kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota organisasi (the freedom to form and join organizations).
b.      Kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom of expression).
c.       Hak memilih (the right to vote).
d.      Kesempatan menjadi pejabat pemerintah (eligibility for public office).
e.       Hak bagi pemimpin politik untuk bersaing dalam mencari dukungan (the right of political leaders to compete for support and votes)
f.        Sumber-sumber informasi alternatif (alternative sources of information [a free press]).
g.       Pemilihan umum yang bebas dan adil (free and fair elections).
h.       Lembaga yang membuat kebijakan pemerintah tergantung pada perolehan suara dan pengungkapan preferensi lainnya (institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference).[8]
Sementara itu, untuk menentukan apakah suatu negara demokratis atau tidak, ada beberapa kriteria atau parameter penilaian yang tidak terlalu kaku harus mengikuti kedelapan prinsip di atas. Kriteria proses demokrasi ini sangat penting bagi pemerintahan yang baik. Menurut Robert A. Dahlproses demokrasi yang ideal ada 5 kriteria, yaitu:
1)      Persamaan hak pilih
Setiap warga negara mempunyai hak istimewa untuk menentukan keputusan terakhir.
2)      Partisipasi efektif
Setiap warga negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan memadai untuk menyatakan hak-hak istimewanya dalam rangka mewujudkan kesimpulan terakhir.

3)      Pembeberan kebenaran
Semua warga negara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk melakukan penilaian yang logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4)      Kontrol terakhir terhadap agenda
Masyarakat harus mempunyai kekuasaan ekslusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga kriteria pertama.
5)      Pencakupan
Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.[9]
3.      Pandangan Islam terhadap Demokrasi
Berbicara tentang sistem kenegaraan pemerintah dalam islam harus dibedakan antara teori dan praktek. Maksud teori adalah konsep-konsep yang tertulis dalam nash (Al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad SAW.) sementara praktek adalah praktek yang dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah muslim. Perbedaan ini penting dipahami lebih dahulu, sebab sebanyak-banyak kasus sistem pemerintahan yang berlaku dalam sejarah Islam adalah tidak sejalan teori yang ingin dibangun islam (teoritis).[10]
Berdasarkan sejarah peradaban manusia, khususnya dibidang sistem pemerintahan, ada tiga sistem yang sudah umum berlaku , yaitu sistem kekuasaan yang ada pada seluruh rakyat (Demokrasi), kedua, sistem kekuasaan yang ada ditangan sebagian rakyat (Oligarki), dan ketiga, kekuasaan yang berada ditangan seorang penguasa (Monarki).[11]
praktek demokrasi dalam sejarah peradaban Islam, telah terlaksana seperti masalah pergantian kepemimpinan kepala negara/pemerintah (suksesi). Bentuk suksesi yang terjadi di kekuasaan Nabi Muhammad kepada Abu Bakar Al-Shidiq sebagai khalifah pertama adalah hasil musyawarah kaum muslimin, yang ketika itu terdiri dari kaum Ansor dan Muhajirin di Saqifah Bani Sa’adah. Kemudian peralihan dari Abu Bakar kepada Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua adalah dengan penunjukkan oleh khalifah sebelumnya dengan persetujuan kaum muslimin. Bentuk lain yang muncul ketika peralihan dari Umar bin Khattab kepada Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga adalah dengan sistem formatur. Adapun peralihan dari Utsman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat adalah dengan jalan aklamasi. Selain itu, sejarah ini diwarnai dengan sistem pemerintahan yang monarki.[12]
Seperti halnya Al-Ghazali berpendapat bahwa “umat sumber kekuasaan” ialah umat islam sendiri yang berhak memilih orang-orang yang akan diberi kepercayaan mengurus kepentingan mereka. Mereka berhak menuntut tanggung jawab atas pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh orang-orang yang mereka pilih. Mereka berhak mencela dan memuji, berhak menghukum jika orang-orang yang dipilihnya itu berbuat buruk, bahkan bila mau mereka pun berhak memecatnya.
Penulis sependapat dengan ungkapan Al-Ghazali bahwa umat sumber kekuasaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa islam yang lahir 14 abad yang lalu telah mengenal sistem pemerintahan syura atau sekarang kita kenal demokrasi.[13]
4.      Hubungan Islam dan Demokrasi
a.       Syura (Musyawarah) Musyawarah dijelaskan dalam QS. As-Syura:38, yang berisi perintah untuk menyelesaikan urusan dan masalah dengan cara bermusyawarah.
b.      Keadilan artinya dalam menegakkan Negara termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58.
c.       Kesejajaran (al-Musawah) artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Ayat Al-Qur’an yang sering digunakan adalah QS. Al-Hujurat ayat 13.
d.      Kebebasan Untuk Hidup ini dijelaskan pada (QS.Al-Isra’:33) yang menyebutkan bahwa manusia mempunyai kemuliaan dan martabat yang tinggi dibandingkan mahluk yang lain, sehingga manusia diberi kebebasan untuk hidup dan merasakan kenikmatan dalam kehidupannya.
e.       Prinsip Persamaan Dijelaskan pada (QS. Al-Hujurat ayat 13) yaitu pada dasarnya semua manusia itu sama, karena semuanya adalah hamba Allah, yang membedakan manusia dengan manusia lainnya adalah ketakwaannya kepada Allah SWT.
f.        Kebebasan Menyatakan Pendapat Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia agar mau dan berani menggunakan akal pikiran mereka untuk menyatakan pendapat yang benar dan dipenuhi rasa tanggung jawab.
g.       Kebebasan Beragama Allah secara tegas telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menganut dan menjalankan agama yang diyakini kebenarannya, sehingga tak seorangpun dapat dibenarkan memaksa orang lain untuk masuk Islam.[14]

B.     Pluralisme


1.      Perdebatan Pluralisme Agama Dalam Islam
Istilah pluralisme atau paham kemajemukan pada sikap manusia terhadap pluralitas. Menurut Mundzirin Yusuf dkk, mendefinisikan pluralisme sebagai “suatu pandangan atau paham yang memiliki prinsip bahwa keanekaragaman itu jangan menghalangi untuk bisa hidup berdampingan secara damai dalam satu masyarakat yang sama”.[15] Dalam kebanyakan, pluralisme sering didefinisikan secara sederhana sebagai sikap mengakui dan menerima kenyataaan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk. Definisi ini mendapatkan kritik dari Budi Munawar Rachman, bahwa pluralisme seharusnya, “lebih mendasar harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif, dan merupakan rachmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya yang beraneka ragam”.[16] Pluralisme merupakan suatu perangkat untuk mendorong pemerkayaan budaya bangsa. Menurutnya, pluralisme tidak sekedar memahami dan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah “majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi”. Pluralisme semestinya juga tidak dipahami hanya sebagai “kebaikan negatif”. Sebagai media menyingkirkan fanatisme. Pluralisme selayaknya dipahami sebagai pengakuan sejati terhadap realitas kebhinekaan dalam ikatan-ikatan kebudayaan, demi keslamatan umat manusia itu sendiri.[17]
Allah sendiri telah menyatakan bahwa realitas keragaman manusia dan masyarakat telah menjadi sebagian dari kehendaknya. Dalam sebuah firman-Nya, Allah mengatakan, “...Sekiranya Allah tidak menahan suatu golongan atas golongan yang lain, niscaya binasalah bumi ini. Tetapi Allah penuh karunia atas semesta alam (Q.S Al baqarah: 251). Pengakuan atas kebinekaan ini sangat dekat dengan perintah Allah kepada manusia untuk menegakkan keadilan terhadap sesama, apapun alasannya, bahkan dalam keadaan benci sekalipun. Allah berfirman, “orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, sebagai saksi-saksi, karena Allah, janganlah kebencian orang kepadamu membuat kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil. Itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah tahu benar apa yang kamu kerjakan (Q.S. 5: 8)”. Dunia diciptakan selalu berpasang-pasangan. Allah berfirman, “Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Q.S. Ar-Rad: 3).[18]
2.      Pluralisme Agama
Pluralisme agama (religious pluralism) adalah ide yang diusung oleh orang-orang yang berpemahaman liberal. Zainal Arrifin Abbas mengatakan bahwa agama berasal dari kata “a” dan “gama”, yang berarti tidak kacau, sebagai kata trend pemikiran yang dibangun di atas dasar kebebasan berkeyakinan yang telah melabrak salah satu pilar terpenting dalam kehidupan beragama, yaitu tentang klaim kebenaran (truth claim) pada setiap agama yang diyakini pemeluknya.[19]
Berangkat dari definisi pluralisme, maka pluralisme agama adalah “sebuah pandangan yang mendorong bahwa berbagai macam agama yang ada dalam satu masyarakat harus saling mendukung untuk bisa hidup secara damai.”[20] Selama ini istilah pluralisme, terutama dalam bidang agama sering diidentikan dengan barat. Pengalaman hidup toleran, pluralis, dan terbuka dalam masyarakat Barat baru terjadi di kalangan internal Kristen. Masa lalu mereka terisi oleh serangkaian peperangan panjang, 80 tahun sampai 100 tahun, sehingga harus pindah dari Eropa ke Amerika. Perpindahan mereka sebagian tidak lain adalah untuk menghindari penyiksaan dan tekanan-tekanan atas nama agama. Sebaliknya justru Timur Tengah dengan Islamnya, jauh lebih terlatih hidup di dalam pluralisme agama, yaitu Islam, Yahudi, dan Kristen. Di Timur Tengah, sejak dulu mereka telah hidup berdampingan secara relatif damai. Berbagai bentrokan dan konflik yang sering terjadi di kalangan masyarakat muslim terjadi karena pengaruh orang-orang Barat itu sendiri. Selama ini orang Barat yang dianggap pluralisme, belum menerapkan pandangannya itu dalam wilayah yang lebih luas, yaitu hubungan antaragama.[21]  
Ninian Smart melihat ada lima cara pandang keagamaan terhadap realitas pluralisme atau kebinekaan agama-agama. Pertama, ekslusivisme absolut, yang melihat kebenaran hanya terdapat agamanya sendiri, sedang yang lain dianggap salah. Kedua, relativisme absolut, yang melihat berbagai sistem kepercayaan agama tidak dapat dibandingkan satu sama lain, karena orang menjadi melihat kebenaran dari dalam masing-masing agama. Ketiga, inklusivisme hegemonistik, yang melihat ada kebenaran dalam agama lain, namun yang paling benar adalah agama sendiri. Keempat, pluralisme realistik, yang melihat semua agama sebagai jalan yang berbeda-beda dari satu kebenaran yang sama. Dan kelima, pluralisme regulatif, yang melihat bahwa agama memiliki nilai-nilai kepercayaan masing-masing yang mengalami evolusi historis dari perkembangan ke arah suatu kebenaran bersama, hanya saja kebenaran bersama tersebut belum terdefinisikan.[22]        
Sementara itu, Hans Kung menyebut ada empat pandangan terhadap kebinekaan agama-agama, tak ada satu agamapun yang benar (ateisme), hanya ada satu agama yang benar dan semua agama lainnya tidak benar, setiap agama adalah benar (benar semua), dan hanya ada satu yang benar yang menjadi induk kebenaran bagi agama lain. Pandangan ateis dipegang oleh beberapa tokoh seperti Feuerbach, Marx dan Freud. Bagi Feuerbach, esensi agama terletak pada manusia, agama merupakan proyeksi manusia yang sama sekali bersifat jasmani (ateisme antropologis), Marx menyebutkan sebagai isiologi kaum borjuis, agama itu candu bagi masyarakat (ateisme sosio-politis) sementara Freud menyebutkan sebagai ilusi yang tidak sehat (ateisme psikoanalitis).[23]
Kemudian Hidayat menyebutkan lima tipologi sikap keagamaan yaitu, ekslusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektisisme, dan universalisme. Ekslusivisme dalah sikap keagamaan yang memandang bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama yang lainnya sesat. Inklusivisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa si luar agama yang dipeluknya, juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Pluralisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa secara teologis, pluralisme agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat missionaris dan dakwah dianggap tidak relevan. Elektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat eklektik. Universal adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya karena faktor historis-antropologis,agama kemudian tampil dalam format.
Hendar riyadi memberikan kesimpulan bahwa pada dasarnya ada tiga keagamaan, yaitu eksklusivisme, inklusivisme dan paralelisme. Sksklusivisme menganggap agamanya sebagai satu-satunya jalan keselamatan, inklusivisme menganggap agamnya yang paling benar tanpa mengingkari eksistensi kebenaran yang ada pada agama lain karena sumber agama yang sma (satu), dan pararelisme menganggap bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri, yang pada akhirnya memliki kesejajaran agama.[24] Begitu kompleksnya pandangan-pandangan tentang cara beragama dalam kaitannya dengan kelompok agama lain, pada dasarnya secara sederhana sikap atau pandangan tersebut dapat dipilih menjadi pro pluralisme (pluralis) dan anti pluralisme (anti pluralis).
3.      Hakikat Pluralisme Agama      
Pada hakikatnya, pluralisme agama adalah agama baru yang encoba meruntuhkan nilai-nilai fundamental agama-agama, termasuk islam. Pluralisme meletakkan kebenaran ga,a-agama sebagai kebenaran yang relatif dan menempatkan agama-agama pada posisi setara, apa pun jenis agama itu. Pluralisme agama meyakini bahwa semua agama adalah jalan-jalan yang sah menuju Tuhan yang sama. Paham ini menyatakan bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga karena kerelatifannya, seluruh agama tidak boleh mengeklaim atau meyakini bahwa agamanya yang lebih benar dari agama lain atau meyakini hanya agamanya yang benar.[25]
Pluralisme jelas bertolah belakang dengan Islam karena Allah SWT. Telah menyatakan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
a.       Islam satu-satunya Agama yang benar
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya;
“dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran[3]: 85).
b.      Al-Qur’an satu-satunya kitab suci yang harus diikuti
Manusia juga hanya Allah boleh berhukum kepada Al-Qur’an dan wajib menjadikannya sebagai pedoman hidup, serta meninggalkan kitab-kitab suci lainnya. Allah SWT berfirman:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُون         
                       
Artinya:
“Dan kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kenbenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu. Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap kurnia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”.
Semua dalil tersebut sangat jelas menyatakan bahwa islam adalah satu-satunya agama yang bnar. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang wajib dipedomani dan Muhammad adalah satu-satunya utusan Allah. SWT. Yang harus diikuti. Siapapun yang tidak menyakini semua ini, berarti kafir dan kelak di akhirat tidak akan mendapatkan keslamatan.
Pluralisme agama adalah ajakan pada kekufuran karena ia mengajak untuk melucuti keyakinan paling fundamen dalam ajaran agama islam, prinsip yang sangat strategis untuk membedakan seseorang yang mash dapat dikatakan sbagai muslim atau tidak. Oleh karena itu, menggandeng pluralisme dengan ajaran Islam adalah suatu hal yang kontradiktif. Akan tetapi, para ‘cendekiawan’ yang terpengaruh degan gaya dan pemikiran Barat tetap mendukung pluralisme dan melakukan justifikasi seolah-olah itu berasal dari Islam. Hingga tidak jarang mereka menyetit ayat-ayat Al-Qur’an untuk memaskan syahwat liberalnya.[26]       
c.       Ayat-ayat AL-Qur’an sering dijadikan sebagai landasan untuk mendukung pluralisme agama        
Berikut adalah ayat ayng sering mereka jadikan sebagai “landasan” untuk mendukung pluralisme beserta saggahannya.
1.      Ayat pertama
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ        
                                                                                                                            
  Artinya:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)....” (Q.S. Al Baqarah [2]: 256)

Menurut orang-orang liberal, ayat inimendukung pluralisme. Padahal, sama sekali tidak. Ayat ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menyatakan bahwa kita sebagai pemeluk agama Islam tidak boleh memaksakan seseorang untuk masuk pada agama Islam. Mengapa? Pada lanjutan ayat ini dijelaskan, “Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat”.
Selanjutnya, Allah SWT, mneyatakan bahwa meskipun tidak ada paksaan untuk masuk pada agama islam, bukan berarti pilihan seseorang untuk tidak memeluk agama Islam tidak berkonsekuensi apa-apa. Orang yang memeluk Islam dinyatakan Allah SWT, telah memegang pedomann yang benar, dan sebaliknya, orang yang tidak memeluk Islam dengan kufur terhadap Allah SWT, maka ia berada dalam kesesatan. Hal ini jelas tidak selaras dengan tafsir liberal yang mengatakan bahwa ayat in mengandung pluralisme yang membenarkan seluruh agama.
2.      Ayat kedua

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yahudi orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut kepada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 62).

Ayat ini juga dapat dikatakan sebagai ayat yang mendukung pluralisme agama karena ayat ini (katanya) menunjukkan pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Akan tetapi, mari kita perhatikan bagaimana ahli tafsir menjelaskan makna sebenarnya atas ayat ini.
Muhammad bin Thahir bin Asyur menyatakan. “Maksud dari lafadz, siapa saja diantara mereka yang benr-benar beriman kepada Allah” adalah iman yang sempurna, yaitu mencangkuo iman kepada risalah Nabi Muhammad SAW, dengan indikasi penempatannya, dan indikasi lafazh, dan beramal shaleh. “karena syarat diterimanya amal saleh adalah iman secara syar’i, sesuai firman Allah, “kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang” (Q.S. Al-Balad [90]: 17). Allah menganggap orang yang tidak beriman kepada risalah Muhammad, berarti ia sama saja tidak beriman kepada Allah.” (At-Tahrir wa At-tanwir, 1995:539).
3.      Ayat ketiga

۞ شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ Artinya:
“Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepadamu Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah didalamnya. Snagat berat bagi orang-orang (untuk mengikuti) agama yang kamu serukn kepada mereka, Allah memilih ornag yang Dia kehendaki kepda agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”  

Ayat ini juga dikatakan termasuk mendukung pluralisme agama karena dalam ayat ini disebutkan tentang syariat nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Mereka mengatakan bahwa seluruh ajaran nabi adalah sama maka agama-agama yang ada sekarangpun sama. Padahal, ayat ini tidak menunjukan kebenaran paham pluralisme agama sama sekali. Memang benar bahwa pokok ajaran para nabi seluruhnya adalah sama seperti yang disebutkan dalam ayat ini. Semua nabi dan rasul yang diutus oelh Allah SWT, membawa ajaran yang satu.
Syekh Bakr Zaid menyatakan bahwa semua nabi memiliki tujuan pengutusan yang sama dalam tiga perkara.
1.      Mereka diutus dengan agama universal, yaitu penyembahan hanya kepada Allah SWT. Dan tidak ada sekutu bagi-Nya dengan cara berdakwah pada tauhid dan berpegang teguh pada tali agama-Nya yang kuat serta meninggalkan sesembahan yang lain.
2.      Mereka diutus untuk mengenalkan jalan untuk sampai pada tujuan tersebut dengan mengajarkan tentang kenabian, serta syariat-syariat, seperti shaum, sholat, zakat, jihad dan sebagainya berupa perintah dan larangan.
3.      Mereka juga diutus untuk menggambar yang akan terjadi ketika manusia berjumpa dengan Allah SWT. kelak setelah meninggalkan surga dan neraka.                                                      
C.     Kulturalisme
Islam kultural, atau yang biasa disebut sebagai Islam lokal, merupakan diskursus kuno yang menyertai sejarah Islam di Indonesia. Dikotomi tentang Islam kultural dan struktural begitu kuat menyertai diskursus gerakan Islam yang masing masing diwakili oleh Muhammadiyah dengan Amien Rais sebagai pioneer-nya dan Nahdlatul Ulama dengan panglima kulturalnya Abdurrahman Wahid. Dalam perkembangan berikutnya, setiap gerakan kultural yang disajikan oleh para pemikir Islam di Indonesia selalu menemukan hambatan yang tidak ringan, termasuk bagaimana mengakomodir nilai-nilai kultural sekaligus membumikan nilai-nilai Islam.
Terlebih keinginan untuk berkiprah dalam birokrasi pemerintahan yang sejak kemerdekaan 1945 itu terasa begitu kuat, di mana umat Islam saat itu sangat sedikit yang ikut andil di dalamnya, apalagi menjadi bagian dari decesion makers. Pada zaman Orde Soekarno, bukan hanya hak-hak politik yang terasa tidak terwakili, namun juga hak ekonomi tidak mendapatkan tempat yang layak sebagaimana golongan Tionghoa.
Di masa Orde Baru, rezim ini berusaha menggunakan birokrasi sebagai primum mobile atau penggerak utama modernisasi dan pembangunan. Untuk itu diupayakan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Mengalihkan wewenang pemerintahan ke tingkat birokrasi yang lebih tinggi, yakni pemusatan proses pembuatan kebijakan pemerintahan, (2) Membuat birokrasi efektif dan tanggap pada perintah pimpinan pusat; (3) Memperluas wewenang pemerintah pusat dan mengendalikan daerah-daerah. Dengan langkah-langkah kebijakan tersebut, terciptalah birokrasi Orde Baru yang kuat dan berporos pada eratnya hubungan antara sipil dan militer.
Berikutnya, langkah strategis Orde Baru dalam rangka melakukan modernisasi adalah dengan cara mendepolitisir Islam. Segala bentuk Islam politik, secara perlahan dan pasti diberangus oleh rezim Orde Baru. Dimulai dengan fusi partai Islam dalam PPP, dan kemudian kewajiban asas tunggal telah memangkas habis kekuatan Islam politik dalam pentas nasional. Dengan asas tunggal ini partai dan ormas Islam menerimanya dengan baik, karena ada garansi dari Soeharto bahwa “Pancasila bukan agama dan agama tidak akan dipancasila-kan”. Dengan ini Soeharto telah mengakhiri ketegangan konseptual yang bersumber dari kekhawatiran adanya mitos penyejajaran (juxtaposition) antara agama dan pancasila. Namun pada saat yang sama, rasionalisasi terhadap pancasila telah mereduksi kekuatan-kekuatan politik yang melakukan ideologisasi dan politisasi agama sebagai alternatif dari ideologi negara. Akibatnya dalam dekade 1980-an terjadi kemerosotan pengaruh “kaum ideologis” Islam. Hal ini terjadi karena ketidakberhasilan dari usaha sementara tokoh dan aktivis Islam yang menyerukan penolakan terhadap penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan organisasi massa.
Tidak mengherankan jika kemudian gerakan Islam kultural dengan semangat inklusif sedemikian maraknya menghiasi percaturan wacana era 80-an. Tokoh-tokoh seperti Ahmad Wahib, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rahmat, Djohan Effendi menjajakan wacana Islam inklusif yang anti-sektarianisme serta menolak Islam politik dan memihak perjuangan Islam melalui dakwah kultural.
Sebenarnya, pada masa Orde Baru, gerakan Islam subtansialis-inklusif sudah jauh lebih berpengaruh dibanding gerakan Islam militan-radikal. Dukungan pemerintah, ditambah dengan represi terhadap mereka, telah memberi peluang bagi gerakan Islam substansialis-inklusif untuk mengeksploitasi gagasan-gagasan mereka. Lebih dari itu, kebijakan politik dan kultural pemerintah Orde Baru telah mendorong pertumbuhan pesat komunitas santri yang lebih besar dan lebih terdidik serta relatif lebih makmur. Lebih penting lagi, banyak anggota kelompok yang mengalami mobilitas vertikal ini bersikap simpatik terhadap posisi gerakan Islam substansialis-inklusif yang memungkinkan mereka untuk menjadi Muslim yang saleh, sekaligus tidak mengundang kecurigaan pemerintah sehingga mereka dituduh sebagai kelompok “ekstrem kanan”.
Pemerintah Orde Baru, sembari menekan segala bentuk ekspresi politik Islam, sangat memberikan dukungan kepada pelaksanaan aspek-asperk Islam yang murni ibadah. Sikap ini pada dasarnya sebangun dengan kebijakan yang disarankan oleh Snouck Hurgronje seabad yang lampau, ketika ia menjadi penasehat pemerintah Belanda. Banyak masjid dibangun dengan bantuan pemerintah, perlombaan baca al-Qur‟ân (MTQ) yang disponsori pemerintah menjadi peristiwa penting, pelaksanaan ibadah haji difasilitasi dan dikoordinir oleh pemerintah, para pejabat pemerintah memakai banyak terminologi Islam dan mengutip teks-teks agama.[27]
Sejak lengsernya Orde Baru dari panggung kekuasaan, masa transisi di Indonesia dimulai dengan perubahan sosio-politik yang amat menentukan bagi masa depan bangsa. Kejatuhan rezim Orde Baru (1998) membawa perubahan yang amat signifikan untuk menata kembali bangsa yang sedang terpuruk secara ekonomi, sosial, dan politik. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pertumbuhan ekonomi dan rapuhnya ikatan sosial masyarakat, sehingga terjadi banyak gejolak sosial dan meningkatnya suhu politik nasional.
Di tengah arus transisi yang memberikan kebebasan dan keterbukaan kepada publik, sejatinya terjadi perubahan yang cukup signifikan terhadap gerakan Islam di Indonesia, yakni gerakan Islam yang pada masa Orde Baru tidak bisa muncul di pentas politik nasional. Kekuasaan Orde Baru yang menekan gerakan Islam selama tiga dasawarsa ternyata tidak mampu melemahkan gerakan Islam untuk bangkit kembali memperjuangkan aspirasi Islam secara lebih luas.[28]
Momentum masa transisi yang tidak menentu menjadikan gerakan Islam semakin menemukan titik kebangkitannya di tengah perebutan kekuasaannya. Gerakan Islam yang sedang bangkit pasca Orde Baru ditandai oleh perubahan struktural maupun kultural. Secara struktural seperti PBB (Partai Bulan Bintang), PKU (Partai Kebangkitan Umat), PNU (Partai Nahdlatul Ummat), PUI (Partai Umat Islam), Partai Masyumi Baru, PSII, PSII 1905, Masyumi (Partai Politik Islam Masyumi) dan PP (Partai Persatuan). PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang sebelumnya telah eksis di masa Orde Baru dengan asas pancasila akibat kebijakan rezim tentang kewajiban mencantumkan asas pancasila bagi organisasi politik dan organisasi masyarakat (ormas), telah merubah asasnya dengan Islam.
Berikutnya, muncul berbagai ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah (FKASW) yang kemudian populer dengan sebutan Laskar Jihad, al-Ikhwân al-Muslimûn, Hizbut Tahrir, HAMMAS, dan Majelis Mujahidin menyusul gerakan Islam lainnya yang sudah berdiri di masa Orde Baru seperti KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam). Ormas-ormas yang muncul ini ditandai dengan karakteristik yang formal, militan, dan radikal.
Dalam konteks global, dunia yang tersekulerkan telah memaksa banyak pihak untuk menata ulang posisinya, termasuk kalangan pemikir Islam. Sekularisasi telah melahirkan kesimpulan yang simple, yaitu modernisasi telah meyebabkan merosotnya agama, baik dalam ranah sosial maupun individual. Hal itu terjadi karena modernisasi telah melahirkan keperkasaan sekularisme di seluruh tempat. Tapi menurut Peter L. Berger, pada saat yang sama modernisasi sendiri telah membangkitkan gerakan sekularisasi tandingan yang kuat (powerful movements of counter-secularization). Selain itu sekularisasi pada level masyarakat, sesungguhnya tidak berimbas pada sekularisasi pada level kesadaran individu.
Di satu pihak, umat beragama, baik pihak tradisional maupun ortodoks, membenarkan jalinan modernitas/sekularisasi, dan mereka terusik dengan hal ini. Sebagian dari mereka melihat modernitas sebagai lawan dan di manapun modernisasi tumbuh, mereka berupaya menegasikannya. Sementara yang lain melihat modernitas sebagai suatu worldview yang tidak bisa dielakkan, di mana umat beragama mengadaptasi pandangan ini. Tegasnya, rejection dan adaptation adalah dua strategi yang terbuka bagi umat beragama dalam sebuah dunia yang diangggap tersekulerkan ini.[29]
Dengan demikian Islam kultural menghadapi dua tantangan internal dan eksternal. Tantangan internal adalah basis legitimasi eksistensi Islam kultural terkait dengan validitas dan keabsahannya sebagai Islam, di mana sedang terjadi penguatan Islam struktural dalam pentas politik nasional. Dari sisi eksternal, Islam kultural tertantang untuk merumuskan ulang paradigma kulturalnya agar mampu merespons wacana global yang memaksakan diri memasuki sendi-sendi keberagamaan masyarakat Indonesia baik dalam konteks sosial maupun individual.
1.      Kulturalisasi Politik
Istilah Islam kultural sering digunakan untuk menyebut gerakan Islam yang membedakannya dari Islam struktural. Keduanya merupakan penanda bagi apa yang disebut model gerakan Islam Indonesia pada tahun 1980-an. Keduanya adalah model dari pilihan strategi arus atas dan strategi arus bawah yang mewakili dua eksonen penting saat itu yaitu Amien Rais dan Abdurrahman Wahid sebelum kedunya masuk ke gelanggang politik secara langsung. Sebagai pilihan strategi maka sudah pasti ditentukan Islam kultural dan Islam struktural itu ditentukanberdasarkan pembacaan terhadap makna Isam dalam kaitannya realias sosio-kultural dan realitas sosial politik yang dihadapi.[30]
Kebangkitan agama, di samping sebagai fenomena lokal, adalah fenomena global. Setidaknya menurut Peter L. Berger ada dua alasan untuk menjawab hal ini. Pertama, modernitas cenderung memporak-porandakan kepastian-kepastian (certainity) yang telah diterima secara taken for granted oleh masyarakat sepanjang zaman. Hal ini amat tidak disukai oleh para penganut agama yang tidak bersikap toleran serta gerakan-gerakan keagamaan yang menghendaki agar kepastian tersebut dapat dipertahankan. Kedua, pandangan sekuler tulen tentang realitas memperoleh tempat sosial yang penting dalam kultur elit, sehingga tidaklah mengejutkan kalau pandangan ini telah menimbulkan kemarahan dari kalangan yang tidak ikut ambil bagian di dalamnya. Oleh karena itu gerakan-gerakan agama yang berkecenderungan kuat anti sekuler dapat menarik dukungan kelompok sakit hati yang kadang-kadang berbasis agak kurang agamis.[31]
Kenyatannya, gerakan Islam menemukan dirinya dalam himpitan kepentingan-kepententingan antara mempertahankan eksistensi sebagai salah satu kekuatan sosial yang selama ini dapat menjadi payung dari sekian kelompok elit ataupun sebagai Islam yang di depannya dihadapkan pada kekusaan negara yang diperebutkan secara bebas dan bahkan ia sendiri sedang tidak terhalang untuk mendapatkannya.
Pembenaran kultural terhadap sistem politik yang berlaku pada akhirnya menjadi penghalang yang paling ampuh dalam usaha untuk berdamai dengan sejarah, berdamai dengan masa lalu. Sejarah dihadapi dengan rasa tanpa dendam dan tanpa nostalgia. Itu artinya sebuah pergulatan secara intelektual yang berawal dari kesenjangan antara citra diri dan struktur realitas dan pengalaman yang pahit yang pada akhirnya menemukan kembali rasa percaya kultural. Inilah bentuk pembebasan intelektual. Sekali hal ini dilakukan maka cakrawala baru pun terbuka juga.[32]
 Pemasungan politik yang dilakukan oleh Orde Baru yang tidak memperbolehkan Islam dijadikan sebagai asas ternyata tidak begitu saja menghabisi keinginan sebagian kelompok Islam untuk memanfaatkan kebebasan yang dihamparkan di hadapannya. Keinginan menjadikan Islam sebagai kekuatan politik tenyata menemukan momentumnya ketika Orde Baru beringsut dari panggung kekuasaan.
Dalam kenyatannya tidak ada bentuk yang monolitik tentang Islam yang berorientasi pada kekuasaan ini. Pertama, kelompok atau partai Islam memang mencantumkan Islam sebagai asas sekaligus ingin memperjuangkan selain aspirasi umat Islam dalam aspirasi dari simbol dan kekuatan Islam berupa formalisasi Islam melalui produk-produk hukum. Pendeknya islamisasi menjadi kata kunci untuk memahami kelompok ini. Pertama kali yang diusungnya adalah pengesahan kembali Piagam Jakarta yang dianggap sebagai representasi dari perjuangan Islam itu sendiri. Kelompok kedua, meskipun ia menjelma menjadi kekuatan Islam ia tidak menggunakan simbol-simbol Islam sebagai agama. Namun yang dilakukannya adalah memanfaatkan konstituen Muslim yang secara kultural tercerahkan oleh pendidikan baik yang bersifat tradisionalis (pesantren) maupun moderrnis (sekolah-sekolah umum). Kelompok ini tidak memperjuangkan simbol-simbol Islam dan Piagam Jakarta agar diberlakukan kembali tetapi lebih memperjuangkan konstituen yang ia ikat dalam kesadaran kultural.
Menurut Syafi’i Anwar dimensi politis dari Islam kultural bersifat inklusif dan penetratif di tengah wacana pergumulan politik-kekuasaan pada level negara. Atau menurut Amien Rais (1999) diartikulasikan sebagai high politics, yaitu pengertian politik dalam arti yang luas yang melibatkan seluruh komponen masyarakat sebagai variabel politik kebangsaan.[33]
Revitalisasi Islam kultural tampaknya merupakan salah satu agenda penting bagi Islam Indonesia ke depan. Proyek revitalisasi Islam kultural itu bukan hanya sebagai upaya untuk mengimbangi Islam politik. Di atas segalanya revitalisasi Islam kultural merupakan proses pemihakan sekaligus pemberdayaan Islam rakyat dalam rangka penciptakan negara demokratis dan pemberdayaan civil society. Paper ini bertujuan untuk merekonstruksi Islam kultural di Indonesia dan melihat dinamika dan tantangan yang dihadapi serta revitalisasi yang dimungkinkan. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui geneologi Islam kultural di Indonesia (2) Untuk mengetahui peta dan dinamika Islam kultural di Indonesia kon-temporer (3) Untuk mengetahui tantangan yang dihadapi oleh gerakan Islam kultural (4) Untuk merumuskan pilihan strategi bagi revitalisasi Islam kultural di Indonesia
2.         Agama dan Negara
                          Mengenai hubungan agama dan negara dalam kehidupan kebangsaan kontemporer sudah barang tentu harus diletakkan dalam konteks kebutuhan untuk mewujudkan kehidupan negara yang lebih maju dan beradab. Ke-majuan dan keberadaban itu antara lain ditandai dengan keseimbangan antara negara (state) dan masyarakat beradab (civil society). Secara kon-septual dinamika keseimbangan negara dan civil society akan ditentukan oleh model-model negara itu sendiri.
                          Berkaitan dengan ini setidaknya ada tiga model teoritik kenegaraan. Pertama, teori instrumental yaitu teori yang memandang negara sebagai alat. Menurut pandangan teori ini, negara adalah alat kekuatan yang menguasai negara. Pandangan ini dianut oleh kalangan pluralis dan Marxis klasik. Kaum pluralis berpendapat bahwa kebijakan negara hanya merupakan hasil interaksi kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat. Sedangkan kaum Marxis klasik memandang negara sekedar alat bagi kelas yang dominan. Louis Althuser misalkan, cenderung memandang negara sebagai perangkat pe-nindasan. Dengan demikian negara yang dibangun atas dasar kekuasaan yang ada padanya merupakan wujud dominasi politik atas masyarakat dan negara selalu di atas masyarakat. Sebagai suatu kesatuan perangkat (alat), negara tidak hanya mempunyai fungsi spesifik. Negara mampu pula menciptakan fungsi umum sebagai perluasan-perluasan dan fungsi esensial (yang ke-mudian menjadikan ia sebagai mekanisme represif) yakni sebagai alat perjuangan kelas. Dalam fungsi itu negara berdiri sebagai kekuatan intervensif dalam perjuangan kelas.[34]


Sebagaimana yang dipahami oleh kalangan Marxis ortodok, sebagai perangkat dominasi kelas, maka ada dua dimensi hakiki negara yakni: represif dan ideologis. Kedua dimensi ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat intervensi perjuangan kelas. Yang satu (dimensi represif) masuk dengan mamaksa sedang yang lain (dimensi ideologis) masuk dengan mem-pengaruhi. Berangkat dari analisis inilah muncul pembedaan antara perangkat negara represif (Represive State Aparatus/RSA) dan perangkat negara yang ideologis (Ideological State Aparatus/ISA). Untuk memperjelas pengertian dan pembedaan itu saya sengaja mengutip lebih banyak teori Althuser tentang RSA dan ISA. Sifat RSA demikian menurut Althuser, pertama-tama adalah menindas. Penindasan yang dilakukan ini selajutnya diberi arti ideologis (seolah-olah dan bernilai sah). RSA ini langsung di bawah kendali kelas penguasa yang ada dalam satu komando yang terlembagakan dalam tugas-tugas yang resmi. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, RSA bersifat sentralistis dan sistematis. RSA ini bagi Althuser identik dengan struktur negara yang semata-mata berdiri sebagai penyangga kekuasaan yang sah dan ekplisit. Keabsahan ini memungkinkan RSA menjangkau publik lebih luas dan gerak hidupnya sendiri bersifat politik. Contoh dari RSA ini adalah birokrasi, lembaga pengadilan dan militer.[35]
Sedangkan mengenai ISA menurut Althuser memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: gerak hidup ISA selalu ideologis. Yang ideologis itu demikian menurut Althuser kelak akan represif, karena memang dimaksudkan demikian (memanipulasi kesadaran). Berbeda dengan RSA, ISA tidak hanya ada dalam lingkup kekuasaan, tetapi bisa dimiliki sebagai sarana menuju kekuasaan kelompok di luar kekuasaan. Wujud ISA antara lain seperti institusi agama, institusi pendidikan dan sebagainya.
Kedua, teori struktural tentang negara. Dalam perspektif struktural ini negara dipandang memiliki kemandirian tetapi sifat relatif sebab ke-mandirian negara itu keluar dari konfigurasi dari kekuatan-kekuatan yang ada. Dengan demikian dalam pandangan teori ini dimungkinkan terjadi dan berlangsungnya perubahan struktur dan bukan negara sendiri yang me-nentukan perubahan-perubahan itu. Salah satu teori terkenal yang masuk dalam perspektif struktural ini adalah teori Negara Otoriter Birokratik (NOB) yang dikemukakan oleh Guilermo O’Donnel. Praktek otoriterianisme birokratik tidak adalah saatu praktek politik kenegaraan dalam kaitannya dengan proses pembangunan kapitalis setelah terjadi proses industrialisasi yang mendalam.
Dalam konteks kebutuhan untuk mengamankan industrialisasi yang kapitalistik, negara diharuskan untuk memobilisasi civil society dengan mem-pertaruhkan partisipasi masa. Dengan melakukan hal ini negara menjadi semakin tergantung pada birokrasi (baik militer maupun sipil), kaum teknokrat dan modal asing yang sangat diperlukan untuk memelihara aku-mulasi modal domestik, pertumbuhan ekonomi dan ekspansi pasar. Akibat-nya peran militer dan teknokrat menjadi sangat dominan pada negara otoriter birokratik ini.

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Pendidikan islam berwawasan kerukunan mengajarkan bagaimana cara hidup ditengan pluralitas bangsanya, agar mereka mampu hidup, baik dalam internal kelompoknya maupun eksternal, kelompok lain, dapat hidup damai dengan lingkungannya, memaknai perbedaan yang secara bijaksana dan tepat untuk menjadi manusia cerdas dalam perspektif pendidikan islam yaitu manusia yang mampu menjadikan perbedaannya sebagai alat untuk semakin menjadi pribadi yang taat dan tidak keluar dari fitrahnya. Kerukunan berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan seperti menghormati hak asasi orang lain, berusaha membangun perdamaian, saling mengasihi dan menyayangi, menghargai perbedaan, serta peduli dengan keberadaan yang lain.
















DAFTAR PUSTAKA


Rajali,Ahmad : Isu Isu Actual dalam Islam, www.academia.com, diakses pada 10 November 2018, pukul 18:48 WIB.
Ridho,Fahrur : HAM dala Demokrasi, www.academia.com, diakses pada 10 November 2018, pukul 18.18 WIB.
Ubaedillah, Ahmad dan Abdul Rojak, 2008, demokrasi,hak asasi manusia dan masyarakat madani(Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah)
Rasya, Ayu : Studi Islam dan Isu-Isu Aktual: Islam, Demokrasi, dan Pluralisme, http://ayuyasizanwar.blogspot.com , diakses pada 10 November 2018, pukul 18.56 WIB.
Fakhruddin al razi,Muhammad :STUDI ISLAM DAN ISU-ISU AKTUAL ISLAM,DEMOKRASI DAN PLURALISME, http://dewasalahmenyikapisegalahal.blogspot.com,diakses pada 10 November 2018, pukul 19.03 WIB.
Imran, Dahlil : Demokrasi Pluralisme sebagai Model Demokrasi Modern, www.academia.com, diakses pada 10 November 2018, pukul 19.18 WIB.
Lubis, Ridwan, 2005, Cetak Biru Peran Agama : Merajut Kerukunan Kesetaraan  Gender dan Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural. (Jakarta: Departemen Agama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama).








                                                            



[1]Ahmad Rajali, “Isu Isu Actual dalam Islam”, www.academia.com, diakses pada 10 November 2018, pukul 18:48 WIB.
[2]Fahrur Ridho, “HAM dalam Demokrasi”, www.academia.com, diakses pada 10 November 2018, pukul 18.18 WIB.
[3]A. Ubaedillah dan Abdul Rojak, demokrasi,hak asasi manusia dan masyarakat madani(Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah,2008)cet. III, hlm. 39.
[4]Fahrur Ridho, “HAM dala Demokrasi”, www.academia.com, diakses pada 10 November 2018, pukul 18.18 WIB.
[5]Ayu Rasya, “Studi Islam da Isu-Isu Aktual: Islam, Demokrasi, dan Pluralisme” http://ayuyasizanwar.blogspot.com , diakses pada 10 November 2018, pukul 18.56 WIB.
[6] Muhammad Fakhruddin al razi, “STUDI ISLAM DAN ISU-ISU AKTUAL ISLAM, DEMOKRASI DAN PLURALISME, http://dewasalahmenyikapisegalahal.blogspot.com,diakses pada 10 November 2018, pukul 19.03 WIB.
[7]Ayu Rasya, “Studi Islam da Isu-Isu Aktual: Islam, Demokrasi, dan Pluralisme” http://ayuyasizanwar.blogspot.com , diakses pada 10 November 2018, pukul 18.56 WIB.
[8]Fahrur Ridho, “HAM dala Demokrasi”, www.academia.com, diakses pada 10 November 2018, pukul 18.18 WIB.
[9]Dahlil Imran, “Demokrasi Pluralisme sebagai Model Demokrasi Modern”, www.academia.com, diakses pada 10 November 2018, pukul 19.18 WIB.
[10]Muhammad Fakhruddin al razi, “STUDI ISLAM DAN ISU-ISU AKTUAL ISLAM, DEMOKRASI DAN PLURALISME”,http://dewasalahmenyikapisegalahal.blogspot.com,diakses pada 10 November 2018, pukul 19.03 WIB.
[11]Ayu Rasya, “Studi Islam da Isu-Isu Aktual: Islam, Demokrasi, dan Pluralismehttp://ayuyasizanwar.blogspot.com , diakses pada 10 November 2018, pukul 18.56 WIB.
[12]Muhammad Fakhruddin al razi, “STUDI ISLAM DAN ISU-ISU AKTUAL ISLAM, DEMOKRASI DAN PLURALISME”,http://dewasalahmenyikapisegalahal.blogspot.com,diakses pada 10 November 2018, pukul 19.03 WIB
[13]Ibid.,
[14]Ridwan Lubis Cetak Biru Peran Agama : Merajut Kerukunan Kesetaraan  Gender dan Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural. (Jakarta: Departemen Agama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005).
[15][15] Khadziq, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Penerbit Teras,2009), hlm.221.
[16] Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedia Nurcholish Madjid, (Jakarta: Mizan,2006), hlm.2694.
[17] Ibid., hlm.2694.
[18] Khadziq, Op.cit., hlm. 223.
[19] Koko Abdul Kodir, Metodeologi Studi Islam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA: 2014), hlm.251.
[20] Ibid., hlm. 223.
[21] Budhy Munawar Rachman, Op.cit., hlm. 2696.
[22] Khadziq, Op.cit., hlm. 224.
[23] Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme: Etika Al-Qur’an tentang Keragaman Agama , (Jakarta: R.M. Books:2007), hlm. 85-86.
[24] Ibid., hlm. 87-88.
[25] Koko Abdul Kodir, Op.cit., hal. 251-252.

[26] Ibid., hal. 253.
[27] M. Qomarul Huda, Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Stain) Kediri , 2018, hlm. 151.
[28] Ibid., hlm. 151.
[29] Ibid., hlm. 153.
[30] M. Mukhsin Jamil, Jurnal Revitalisasi Islam Kultural, 275, Iain Walisongo Semarang, hlm. 293.
[31] M. Qomarul Huda, Op. cit., hlm. 153.
[32] Ibid., hlm. 172.
[33] M. Mukhsin Jamil, Op. cit., hlm. 275

[34] Ibid., hlm. 275
[35] Ibid., hlm. 276.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

MAKALAH PERTUMBUHAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Makro Islam Dosen Pengampu: Ahmad Syukron, M. EI Penyusun: Kelas: G JURUSAN EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ISLAM PEKALONGAN TAHUN 2018 KATA PENGANTAR             Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, materi yang dibahas adalah “Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi” . Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.             Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah waw...

Makalah Kaidah Fikih الأموربمقاصدها (al-umuuru bimaqaashidiha)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A.      Latar B elakang ....................................................................................... 1 B.      Rumusan M asalah .................................................................................. 2 C.      Tujuan dan M anfaat ................................................................................ 2 BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3 A.      Makna Kaidah Fikih الامور بمقاصدها ....................................................... 3 B.      ...

Makalah Konsep Dasar Fiqh Muamalah

TUGAS MAKALAH KONSEP DASAR FIQIH MUAMALAH Makalah I ni D isusun U ntuk M emenuhi T ugas Fiqih Muamalah Dosen Pengampu : Ahmad Syukron, M.EI O leh   : KELAS : E JURUSAN EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITU T AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN 2019 K ATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah swt atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Ahmad Syukron, M.EI selaku dosen kami dalam Mata Kuliah Fiqih Muamalah dan kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca . U ntuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami , k ami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini . Oleh ...