Skip to main content

Makalah Pengantar Kaidah Fikih


PENGANTAR KAIDAH FIKIH
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Fikih
Dosen pengampu : Dr. Zawawi M.A
                                   

Disusun oleh :


JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2019


KATA PENGANTAR

Dengan mengucap rasa syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas rahmatnya dan nikmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Fikih yang diampu oleh Bapak Dr. Zawawi M.A.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini kami banyak kekurangan, penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan sarandemi kesempurnaan tugas yang akan datang. Kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Semoga hal yang kami sampaikan dapat memberikan manfaat bagi pembaca.


                                                                       
                                                                        Pekalongan, 24 Februari 2019


Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang....................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C.     Tujuan Rumusan..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.     Pengertian Kaidah Fikih.......................................................................... 3
B.     Hubungan dengan Ilmu........................................................................... 4
C.     Sejarah dan Pembagian Kaidah Fikih...................................................... 9
D.     Macam-macam Kaidah Fikih.................................................................. 16
E.      Perbedaan Kaidah Fikih dengan Dhabith............................................... 18
BAB III PENUTUP
A.     Kesimpulan............................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 21
                                                                                             






BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
            Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
            Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Kaidah Fikih ?
2.      Apa saja hubungannya dengan Ilmu lain ?
3.      Bagaimana sejarah dan pembagian Kaidah Fikih ?
4.      Apa saja macam-macam Kaidah Fikih ?
5.      Apa perbedaan Kaidah Fikih dengan Dhabith ?

C.     Tujuan Rumusan
1.      Untuk mengetahui pengertian Kaidah Fikih.
2.      Untuk mengetahui hubungan dengan Ilmu lainnya.
3.      Untuk mengetahui sejarah dan pembagian Kaidah Fikih.
4.      Untuk mengetahui macam-macam Kaidah Fikih.
5.      Untuk mengetahui perbedaan Kaidah Fikih dengan Dhabith.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Kaidah Fikih
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
قَدْ مَكَرَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَأَتَى ٱللَّهُ بُنْيَٰنَهُم مِّنَ ٱلْقَوَاعِدِ فَخَرَّ عَلَيْهِمُ ٱلسَّقْفُ مِن فَوْقِهِمْ وَأَتَىٰهُمُ ٱلْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya:
     “sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan tipu daya, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan siksa itu datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka sadari…” (Q.S. An-Nahl 26)[1]

Secara etimologi kaidah-kaidah fikih adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Sedangkan dalam tinjaun terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-Syafi’i dalam buku ushul fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah:
“Kaum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hokum juz’I yang banyak”
Sedangkan menyoritas ulama ushul fiqih mendefenisikan kaidah dengan:
“Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagianya”[2]

B.       Hubungannya dengan Ilmu Lainnya
1.      Hubungan Qawa’id fiqhiyah dengan Qawa’id ushuliyyah
             Kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya baik Al-Quran maupun sunnah dengan menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk operasional dalam mengistinbathkan hukum Islam, dengan melihat kepada hikmah dan rahasia-rahasia tasyri’. Namun kedua kaidah tersebut merupakan patokan dalam mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan, dalam sasarannya menetapkan hukum Islam terhadap mukallaf. Sebagai contoh Surah Al-maidah ayat 3 :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ
 وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ
 كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
 دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُوْرٌرَّحِيْمٌ
            Artinya:
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Q. S. Al-Maidah ayat 3)

                        Kaitan kaidah fiqhiyyah dengan kaidah ushuliyyah diatas adalah sebagaimana diharamkan memakan bangkai, darah, daging babi, maka diharamkan pula untuk memperjualbelikannya atau memanfaatkannya. Apabila bangkai, darah, daging babi itu diperjualbelikan maka harga dari jual beli tersebut adalah haram hukumnya.
Begitu juga apabila gemuk bangkai dijadikan minyak lalu minyak itu dijual kepada orang lain, maka jual beli tersebut menjadi haram hukumnya. Hal ini didasarkan kepada qaidah fiqih diatas bahwa pada hakikatnya yang dikelilingi adalah keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, sedangkan yang mengelilinginya adalah menjual dan memanfaatkannya, hal ini diharamkan karena hukum asalnya adalah haram.

2.      Hubungan Qawa’id Al-fiqhiyyah dengan Ushul fiqh dan fiqih
Ilmu fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawa’id al- fiqhiyah karena kaedah al-fiqhiyah merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.
Persoalan baru semakin banyak tumbuh dalam masyarakat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka diperlukan kunci berfikir guna memecahkan persoalan masyarakat sehingga tidak menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dengan demikian qawa’id al fiqhiyah sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli fiqih dalam rangka mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fikih ke arah pemecahan problema hukum masyarakat.[3]
Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih adalah :
معرفة دلا ئل الفقه اجمالا وكيفية الستفادة منها وحال المستفيد                                                                       
Artinya:
“pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”

Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :
a)         Dalil (sumber hukum)
b)        Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
c)         Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali (mengistinbath) hukum dan sumbernya.

Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten.
Kemudian tujuan dari pada ushul fiqh itu sendiri adalah untuk mengetahui jalan dalam mendaptkan hukum syara’ dan cara-cara untuk menginstimbatkan suatu hukum dari dalil-dalinya. Dengan menggunakan ushul fiqh itu, seseorang dapat terhindar dari jurang taklid.[4] Ushul fiqh itu juga sebagai pemberi pegangan pokok atau sebagai pengantar dan sebagai cabang ilmu fiqih itu, berisikan antara lain teori-teori hukum baik berupa asas-asas hukum, dalil-dalil atau kaidah-kaidah ushul fiqh yang harus digunakan  untuk dapat memahami syari’at itu dengan baik.
Dapat dikatakan bahwa ushul fiqh sebagai pengantar dari fiqih, memberikan alat atau sarana kepada fiqh dalam merumuskan, menemukan penilaian-penilaian syari’at dan peraturan-peraturannya dengan tepat.[5]
Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dan sunnah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.
Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi
واقيموا الصلاة وءاتواالزكوة  .......
                                                                                        
Artinya:
“dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ...”

Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut ( الاصل فى الامر للوجوب).
Fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.
Fikih membahas tentang bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antara manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu hubungan diantara Qawa’id al- fiqhiyah dengan fikih sangat erat sekali karena qawaid fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mualaf. Ini karena dalam menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mualaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasusu seperti ini, mualaf tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum  boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :”الضرار يزال“ bahaya wajid dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara qawaid ushuliyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyah menkaji dalil hukum (nash al-Qur’an dan sunnah) dan hukum syarak, sedangkan qawaid fiqhiyah mengkaji perbuatan mukalaf dan hukum syarak.
Demikianlah hubungan antara fiqih, qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah. Hukum syarak (fiqih) adalah hukum yang di istinbath dari nash al-Qur’an dan sunnah melalui pendekatan ushul fiqih yang diantaranya menggunakan qawaid ushuliyah. Hukum syarak (fiqih) yang telah diistinbath tersebut diikat oleh qawaid fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah difahami dan identfikasi.



C.     Sejarah dan Pembagian Kaidah Fikih
Beberapa peneliti menjelaskan sejarah kaidah fikih dengan menentukan periodesasinya menjadi tiga bagian: zaman pertumbuhan dan pembentukan (tawr al-nusyu’ wa al-takwin), zaman perkembangan dan kodifikasi (tawr al-namu wa al-tadwin), dan zaman kematangan dan penyempurnaan (tawr al-rusukh wa al-tansiq).[6]
a)      Fase pertumbuhan dan pembentukan (abad I - III H)
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dari zaman kerasulan hingga abad ketiga hijriah. Periode ini, dari segi fase sejarah hukum Islam dapat dibagi menjadi tiga dekade: zaman Nabi Muhammad SAW. yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 M / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ al-tabi’in  yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H/ 974 M dianggap sebagai zaman kejumudan karena tidak ada lagi ulama pendiri mazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir Al-Thabari (w. 310 H/ 734 M) yang menirikan mazhab Jaririah.
Dengan demikian, ketika fikih telah mencapai puncak kejayaan (keemasan), kaida fikih baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri kaidah yang dominan adalah Jawami al-kalim (kalimatnya ringkas tapi cakupan maknanya luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadis yang mempunyai ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fikih. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fikih dimulai sejak  zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW. yang jawami al-kalim dapat ditinjau dari dua segi: dari segi sumber, ia adalah hadis. Oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum Islam yang tidak mengandung al-mustasnayat karena tidak bersifat aglabiyah.
Dari segi cakupan makna dan bentuk kalimat, hadis dikatakan sebagai kaidah fikih karena kalimatnya ringkas tapi cakupan maknanya luas. Akan tetapi, kaidah ini (karena sabda Mabi Muhaammad SAW.) tidak bersifat pada umummnya dan karaenanya tidak mengandung pengecualian-pengecualian.[7]
Generasi setelah Nabi Muhammad SAW. disebut generasi sahabat. Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fikih karena turut serta membentuk kaidah fikih. Para sahabat dapat membentuk kaidah fikih karena dua keutamaan: mereka adalah murid Rasulullah SAW. dan mereka mengetahui situasi yanag menjadi turunya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan pada diri mereka. Atas dasar pertimbangan tersebut, sahabat dipandang kompeten untuk menjelaskan wahyu, baik Al-Quran maupun sabda Rasulullah SAW.

b)      Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalam sejarah hukum Islam, abad ke-4 H dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih pendapat imam mazhabnya masing-masing. Yang dilakukan ulama pengikut mazhab adalah ilhaq (melakukan analogi atau qiyas).
Menurut Ibn Khaldun, ketika mazhab tiap imam fikih menjadi ilmu khusus bagi para pengikutnya dan tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad, ulama melakukan tandzir (penyamaan) masalah-masalah untuk dihubungkan serta memilahnya ketika terjadi ketidakjelasan setelah menyederhanakannya kepada dasar-dasar tertentu dari mazhab mereka.[8]
Dengan cara tandzir dan isytibah (dipilah), fikih dikembangkan. Kemudian ulama meletakkan cara-cara baru dalam ilmu fikih yang disebut al-qawa’id, al-dhawabith, atau al-furuq. Mazhab Hanafi dikenal sebagai aliran pertama yang memperkenalkan ilmu ini.
Menurut riwayat al-‘Ala’i al-Ayafi’i (w. 761 H.), al-Suyuthi (w. 911 H.), Ibn al-Nujaim (w. 970 H.), Abu Thahir al-Dabbas (ulama abad IV H.) telah mengumpulkan tujuh belas kaidah penting dalam mazhab Hanafi.
Dalam melestarikan kaidah tersebut, Abu Thahir al-Dabbas menghafalnya secara berulang-ulang pada setiap malam di masjid setelah pengunjung masjid lainnya keluar.
Al-Karkhi (w. 340 H.) yang hidup sezaman dengan Abu Thahir al-Dabbas mengadopsi kaidah-kaidah fikih tersebut dan mengumpulkannya dengan kaidah lain sehingga berjumlah 37 kaidah seperti yag dibukukannya dalam Ushul al-Karkhi.
Disamping kitab Ushul al-Karkhi, terdapat kitab kaidah fikih lainnya yang disusun oleh muhammad Ibn Harits al-Husyni al-Maliki (w. 361 H.) dengan judul Ushul al-Futiya yang memuat banyak kaidah fikih.
Dengan demikian, pada abad IV H telah ada dua kitab kaidah fikih, yaitu Ushul al-Karkhi karya al-Karkhi yang beraliran hukum Hanafi dan Ushul al-Futiya yang disusun oleh Muhammad Ibn Harits al-Husyni yang berliran hukum Maliki. Oleh karena itu, ulama yang berjasa dalam pembentukan kaidah fikih pada abad IV H aalah aliran Hanafi dan Malik.
Disamping itu, klaim bahwa sabda Nabi Muhammad SAW. yang jawami’ al-kalim adalah kaidah fikih muncul zaman abad-abad ini. Upaya-upaya untuk mencari hadis yang jawami’ al-kalim, pendapat sahabat, tabi’in, dan sesudahnya, diperkirkan muncul pada fase ini.
Sekalipun abad IV H dianggap sebagai awal kodifikasi kaidah fikih, dikatakan oleh ‘Ali Ahmad al-Nadawi bahwa buku yang membahas kaidah fikih secara khusus baru muncul pada abad V H. Kitab kaidah fikih tersebut adalah Ta’sis al-Nazhar  karya Ibn Zaid al-Dabusi al-Hanafi (w. 430 H). Oleh karena itu, hingga abad V hijriah, Hanafi adalah aliran yang paling berjasa dalam pengembangan kaidah fikih.
Pada abad VI H ditemukan hanya satu buah kitab yang disusun dalam disiplin ilmu kaidah fikih, yaitu Idhah al-Qawa’id karya ‘Ala al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Samarqandi (w. 540 H).
Perkembangan kodifikasi kaidah fikih tampak lebih maju pada abad VII hijriah. Pada abad ini ulama menyusun kitab-kitab kaidah fikih sebagai berikut[9]:
a.       Al-Qawa’id fi al-Furu’ al-Syafi’iyyat karya Muhammad Ibn Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w. 613 H)
b.      Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izz al-Din Ibn ‘Abd al-Salam (w. 660 H)
c.       Al-Mudzhab fi Dhabth Qawa’id al-Madzhab karya Muhammad Ibn ‘Abd Allah Ibn Rasyid al-Bakri al-Qafsi (w. 685 H)
Kitab pertama dan kedua disusun oleh ulama pengikut mazhab al-Syafi’i, sedangkan kitab ketiga disusun oleh ulama pengikut mazhab Maliki. Oleh karena itu, dominasi mazhab dalam kodifikasi dan perkembangan kaidah fikih telah bergeser: abad IV dan V hijriah kodifikasi dan perkembangan kaidah fikih didominasi oleh aliran Hanafi, sedangkan pada abad VII  hijriah, aliran al-Syafi’i yang mendominasinya.
Kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam karya Abi Muhammad ‘Izz al-Din ‘Abd al-Aziz Ibn ‘Abd al-Salam al-Silmi terdiri atas dua juz (satu jilid) yang jumlah halamannya sekitar 400 halaman. Beberapa kaidah fikih yang terdapat dalam kitab tersebut, sebagai berikut:
a.       Sesuai dengan tema besar yang kitab tersebut, Izz al-Din Ibn ‘abd al-Salam menjelaskan tentang syari’at “semua (ketentuan) syari’at adalah mashlahat; baik dengan cara penolakan terhadap kesulitan maupun dengan mendatangkan kegunaan”.
b.      Dalam Islam terdapat wilayah zhanniyat, yaitu wilayah yang kepastian kebenarannya tidak diketahui oleh manusia karena ketidakadaan informasi wahyu atau karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mendalaminya.
c.       Dalam ilmu kaidah ushul terdapat kaidah bahwa sesuatu yang membut tidak sempurna sebuah perbuatan wajib adalah wajib
مالايتم الواجب الابه فهوواجب
Dengan bahasa lain, media (wasilat) bagi yang wajib adalah wajib pula.
d.      Mashlahat bisa saja berbeda antara yang satu dengan yang lain atau bahkan bertentangan. Dalam hal terjadi pertentangan mashlahat.
e.        Dalam fikih terdapat pekerjaaan pokok (azimat) dan pekerjaan alternatif (rukhsbat).
f.        Dalam fikih siyasah terdapat syarat-syarat wali (pemimpin).
g.       Dosa memiliki tingkatan (terutama antara dosa besar dan dosa kecil) dan perbuatan baik yang mendatangkan pahala pun memiliki tingkatan.

Abad VIII H dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fikih, karena perkembangan kodifikasi kaidah fikih begitu pesat. Buku-buku kaidah fikih terpenting dan termasyur abad ini adalah[10] :

a.       Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Ibn wakil al-Syafi’i (w. 716 H)
b.      Al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 750 H)
c.       Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawa’id al-Madzhab karya al-Ala’i al-Syafi’i (w. 761 H)
d.      Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Jamal al-Din al-Subki (w. 771 H)
e.       Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Jamal al-Din al-Isnawi (w. 772 H)
f.        Al-Mantsur fi al-Qawa’id karya Badr al-Din al-Zarkasyi (w. 794 H)
g.       Al-Qawa’id fi al-Fiqh karya Ibn Rajab al-Hambali (w. 795 H)
h.       Al-Qawa’id fi al-Furu’ karya ‘Ali Ibn Usman al-Gazzi (w. 799 H)

Pada zaman ini, penulis kaidah dari aliran al-Syafi’i begitu berperan. Oleh karena itu, peranan terbesar dalam kodifikasi dan pengembangan kaidah fikih pada abad ini dipegang oleh aliran al-Syafi’i. Salah satu kitab yang dapat diuas pada bagian ini adalah kitab al-Qawa’id al-Fiqh karya Abi al-Farj ‘Abd al-Rahman Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H).
Pada abad IX H tercatat sebagai periode syarh (penjelasan), karena pada zaman ini muncul Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H) yang mengkodifikasi kaidah fikih dengan cara menjelaskan kitab-kitab yang telah ada sebelumnya. Disamping itu, diikuti pula oleh peneliti lainnya. Banyak buku-buku kaidah fikih yang disusun pada abad IX H.[11]
Pada abad X H dianggap sebagai zaman kesempurnaan bagi kaidah fikih. Pada masa ini, muncul Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 910 H) yang merangkum kaidah-kaidah fikih yang dianggap paling  penting yang bertebaran dalam kitab-kitab karangan al-‘Ala’i, al-Subki, dan al-Zarkasyi, yang kemudian dikumpulkan dalam kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir, yang hingga kini masih dianggap buku kaidah fikih yang paling lengkap.
c)      Fase kematangan dan penyempurnaan (abad XI H - kini)
Aliran hukum Sunni yang berjasa dalam pembentukan kaidah fikih zaman pertumbuhan adalah Hanafiah. Tokohnya adalah al-Karkhi dan al-Dabusi. Tetapi peran ini bergeser pada abad VI dan VII H, aliran Hanafi mengalami stagnasi. Pada zaman stagnasi ini muncul kitab Syarh Ushul al-Karkhi yang disusun oleh Najm al-Din Abu Hafs al-Nasafi (w. 573 H).
Sekalipun dikatakan sebagai aliran yang mengalami stagnasi, tidak berarti dalam aliran ini tidak terdapat pengembang kaidah fikih sama sekali. Pada zaman ini, muncul pengikut Hanafi lainnya seperti Qadhi Khan dan Husairi yang menjadikan fikih salah satu media dalam menentukan ‘illat dan men-tarjih pendapat ulama. Abad VII H merupakan pakan zaman kejayaan mazhab Syafi’i.[12]
Sekalipun ditulis sejak lama, kaidah fikih masih bercampur dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya. Oleh karena itu, pada abad XII H muncul Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyat yang disusun oleh Laznah Fuqaha Utsmaniah. Para Fuqaha merangkum dan memilih kaidah fikih dari sumber-sumbernya.
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fikih. Meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fikih pada zaman sesudahnya.
Di Indonesia, kaiidah fikih semakin dikenal setelah dijadikan disiplin ilmu mandiri yang dipelopori oleh Program Pasca-sarjana IAIN Jakarta. Disamping itu, kaidah fikih telah menjadi ilmu mandiri pada Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah IAIN. Hal ini dapat dilihat pada topik Inti Kurikulum Nasional Institut Agama Islam Negeri (1985).[13]

D.      Macam-Macam Kaidah Fikih
1.      Segi fungsi/peran
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan marginal. Yang pertama disebut dengan kaidah fiqh sentral karena kaidah tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :

الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
a.       Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat.
b.      Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh.
Dengan demikian, kaidah marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’.
2.      Segi Mustasnayat (pengecualian)
Ditinjau dari segi pengecualiannya, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, kaidah yang tidak memiliki pengecualia. Kedua, yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak mempunyai pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Dalam arti sabda nabi yang kemudian dijadikan sebagai salah satu kaidah fiqh. Misalnya :

البينة على المدعى واليمين على من أنكر
“bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpahdibebankan kepada tergugat”

Kaidah fiqh yang kedua adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah. Dengan kata lain kaidah yang tergolong pada kelompok masih diperselisihkan oleh ulama. Misalnya :

إذا بطل الخصوص هل يبقي العموم
“Manakala yang khusus batal, apakah yang umum masih tetap, ataukah ikut batal?”


3.      Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam :
a.       Kaidah kunci, yaitu bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
جلب المصا لح ودرءالمفا سد
 “Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”

Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
b.      Kaidah asasi, yakni kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
1)      اِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ (perbuatan/perkara itu tergantung pada niat)
2)       اَلْيَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بالشَكِّ(keyakinan tidak hilang dengan keraguan)
3)      الْمَشْقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرَ(kesulitan mendatangkan kemudahan)[14]
    

E.       Perbedaan Kaidah Fikih dengan Dhabith
     Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kaidah fikih berbeda dengan dhabith al-fiqh. Di antara mereka adalah al-Maqari, al-Maliki, Abd al-Rahman Ibn Jad Allah al-Banani al-Maliki (w. 1198 H), Ibn Nujaim, dan al-Suyuti.
     Perbedaan antara kaiidah fikih dengan dhabith al-fiqh terletak pada cangkupannya. Kaidah fikih mencakup banyak bab fikih, sedangkan dhabith al-fiqh hanya mencakup satu bab fikih tertentu.
     Dari segi rumusan, setiap dhabith al-fiqh aalah kaidah fikih, karena dhabith al-fiqh adalah bagian dari kaidah fikih, tetapi dari segi penghadapan terhadap furu’, setiap kaidah fikih adalah dhabith al-fiqh, dan tidak setiap dhabith al-fiqh adalah kaidah fikih; karena dhabith al-fiqh hanya mencakup bab fikih tertentu, sedangkan kaidah fikih mencakup bayak bab fikih.
     Ali Ahmad al-Nadawi (1994) menjelaskan bahwa perbedaan antara kaidah fikih dengan dhabith fikih adalah :
1.      Kaidah fikih lebih umum daripada dhabith fikih
2.      Dari segi penghadapan dengan furu’, kaidah fikih lebih banyak dihadapkan kepada furu’ dibanding dhabith fikih.
3.      Karena lebih banyak dihadapkan kepada furu’, dalam kaidah fikih banyak syadz dibanding dhabith fikih.
4.      Dalam kaidah fikih terdapat pengecualian-penecualian (mustatsnayat), karena kaidah fikih bersifat pada umumnya, sedangkan dalam dhabith fikih belum ada penjelasannya mengenai ada tidaknya pengecualian.[15]







BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
           Kaidah-kaidah fikih adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Ada beberapa hubungan kaidah fiqih dengan ilmu lainnya diantaranya, Hubungan Qawa’id fiqhiyah dengan Qawa’id ushuliyyah, Hubungan Qawa’id Al-fiqhiyyah dengan Ushul fiqh dan fiqih.
           Sejarah kaidah fikih dengan menentukan periodesasinya menjadi tiga bagian: zaman pertumbuhan dan pembentukan (tawr al-nusyu’ wa al-takwin), zaman perkembangan dan kodifikasi (tawr al-namu wa al-tadwin), dan zaman kematangan dan penyempurnaan (tawr al-rusukh wa al-tansiq).
           Terdapat macam-macam kaidah fikih diantaranya dilihat dari segi fungsi/peran, segi mustasnayat (pengecualian), dan segi kualitas. Perbedaan antara kaiidah fikih dengan dhabith al-fiqh terletak pada cangkupannya. Kaidah fikih mencakup banyak bab fikih, sedangkan dhabith al-fiqh hanya mencakup satu bab fikih tertentu.





DAFTAR PUSTAKA

Andiko, Toha. 2011.  Ilmu Qawaid Fiqhiyyah. Yogyakarta: Teras.
Djalali, Badiq. 2010. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Kencana.
Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fikih: Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Musbikin, Imam. 2011. Qawa’id Al-fiqhiyah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Syahar, Saidus.  1996. Asas-asas Hukum Islam. Bandung: Alumni




[1] Toha Andiko, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 1.

[2] Ibid., hlm. 2.
[3] Imam Musbikin, Qawa’id Al-fiqhiyah, (jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), hlm. 13.
[4] Basiq Djalali, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 17.
[5] Saidus Syahar, Asas-asas Hukum Islam, (Bandung: Alumni, 1996), hlm. 35.
[6] Op. Cit.,hlm. 43.
[7]Ibid., hlm. 44.
[8] Ibid., hlm. 64.
[9] Ibid., hlm. 66.
[10] Ibid., hlm. 75.
[11] Ibid., hlm. 84.
[12] Ibid., hlm. 98.
[13] Ibid., hlm. 99.
[14] Adib Hamzawi, http://jurnal.staih.ac.id/index.php/inovatif/article/download/58/46/, diakses pada tanggal 24 Februari 2019 pukul 22.15 WIB.
[15] Op. Cit., hlm. 12.


Comments

  1. ASSALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI CARA SUKSES SAYA NGURUS IJAZAH saya atas nama bambang asal dari jawa timur sedikit saya ingin berbagi cerita masalah pengurusan ijazah saya yang kemarin hilang mulai dari ijazah SD sampai SMA, tapi alhamdulillah untung saja ada salah satu keluarga saya yang bekerja di salah satu dinas kabupaten di wilayah jawa timur dia memberikan petunjuk cara mengurus ijazah saya yang hilang, dia memberikan no hp BPK DR SUTANTO S.H, M.A beliau selaku kepala biro umum di kantor kemendikbud pusat jakarta nomor hp beliau 0823-5240-6469, alhamdulillah beliau betul betul bisa ngurusin masalah ijazah saya, alhamdulillah setelah saya tlp beliau di nomor hp 0823-5240-6469, saya di beri petunjuk untuk mempersiap'kan berkas yang di butuh'kan sama beliau dan hari itu juga saya langsun email berkas'nya dan saya juga langsung selesai'kan ADM'nya 50% dan sisa'nya langsun saya selesai'kan juga setelah ijazah saya sudah ke terima, alhamdulillah proses'nya sangat cepat hanya dalam 1 minggu berkas ijazah saya sudah ke terima.....alhamdulillah terima kasih kpd bpk DR SUTANTO S.H,M.A berkat bantuan bpk lamaran kerja saya sudah di terima, bagi saudara/i yang lagi bermasalah malah ijazah silah'kan hub beliau semoga beliau bisa bantu, dan ternyata juga beliau bisa bantu dengan menu di bawah ini wassalam.....

    1. Beliau bisa membantu anda yang kesulitan :
    – Ingin kuliah tapi gak ada waktu karena terbentur jam kerja
    – Ijazah hilang, rusak, dicuri, kebakaran dan kecelakaan faktor lain, dll.
    – Drop out takut dimarahin ortu
    – IPK jelek, ingin dibagusin
    – Biaya kuliah tinggi tapi ingin cepat kerja
    – Ijazah ditahan perusahaan tetapi ingin pindah ke perusahaan lain
    – Dll.
    2. PRODUK KAMI
    Semua ijazah DIPLOMA (D1,D2,D3) S/D
    SARJANA (S1, S2)..
    Hampir semua perguruan tinggi kami punya
    data basenya.
    UNIVERSITAS TARUMA NEGARA UNIVERSITAS MERCUBUANA
    UNIVERSITAS GAJAH MADA UNIVERSITAS ATMA JAYA
    UNIVERSITAS PANCASILA UNIVERSITAS MOETOPO
    UNIVERSITAS TERBUKA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
    UNIVERSITAS TRISAKTI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
    UNIVERSITAS BUDI LIHUR ASMI
    UNIVERSITAS ILMUKOMPUTER UNIVERSITAS DIPONOGORO
    AKADEMI BAHASA ASING BINA SARANA INFORMATIKA
    UPN VETERAN AKADEMI PARIWISATA INDONESIA
    INSTITUT TEKHNOLOGI SERPONG STIE YPKP
    STIE SUKABUMI YAI
    ISTN STIE PERBANAS
    LIA / TOEFEL STIMIK SWADHARMA
    STIMIK UKRIDA
    UNIVERSITAS NASIONAL UNIVERSITAS JAKARTA
    UNIVERSITAS BUNG KARNO UNIVERSITAS PADJAJARAN
    UNIVERSITAS BOROBUDUR UNIVERSITAS INDONESIA
    UNIVERSITAS MUHAMMADYAH UNIVERSITAS BATAM
    UNIVERSITAS SAHID DLL

    3. DATA YANG DI BUTUHKAN
    Persyaratan untuk ijazah :
    1. Nama
    2. Tempat & tgl lahir
    3. foto ukuran 4 x 6 (bebas, rapi, dan usahakan berjas),semua data discan dan di email ke alamat email bpk sutantokemendikbud@gmail.com
    4. IPK yang di inginkan
    5. universitas yang di inginkan
    6. Jurusan yang di inginkan
    7. Tahun kelulusan yang di inginkan
    8. Nama dan alamat lengkap, serta no. telphone untuk pengiriman dokumen
    9. Di kirim ke alamat email: sutantokemendikbud@gmail.com berkas akan di tindak lanjuti akan setelah pembayaran 50% masuk
    10. Pembayaran lewat Transfer ke Rekening MANDIRI, BNI, BRI,
    11. PENGIRIMAN Dokumen Via JNE
    4. Biaya – Biaya
    • SD = Rp. 1.500.000
    • SMP = Rp. 2.000.000
    • SMA = Rp. 3.000.000
    • D3 = 6.000.000
    • S1 = 7.500.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S2 = 12.000.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S3 / Doktoral Rp. 24.000.000
    (kampus terkenal – wajib ikut kuliah beberapa bulan)
    • D3 Kebidanan / keperawatan Rp. 8.500.000
    (minimal sudah pernah kuliah di jurusan tersebut hingga semester 4)
    • Pindah jurusan/profesi dari Bidan/Perawat ke Dokter. Rp. 32.000.000

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Makalah Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

MAKALAH PERTUMBUHAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Makro Islam Dosen Pengampu: Ahmad Syukron, M. EI Penyusun: Kelas: G JURUSAN EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ISLAM PEKALONGAN TAHUN 2018 KATA PENGANTAR             Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, materi yang dibahas adalah “Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi” . Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.             Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah waw...

Makalah Kaidah Fikih الأموربمقاصدها (al-umuuru bimaqaashidiha)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A.      Latar B elakang ....................................................................................... 1 B.      Rumusan M asalah .................................................................................. 2 C.      Tujuan dan M anfaat ................................................................................ 2 BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3 A.      Makna Kaidah Fikih الامور بمقاصدها ....................................................... 3 B.      ...

Makalah Konsep Dasar Fiqh Muamalah

TUGAS MAKALAH KONSEP DASAR FIQIH MUAMALAH Makalah I ni D isusun U ntuk M emenuhi T ugas Fiqih Muamalah Dosen Pengampu : Ahmad Syukron, M.EI O leh   : KELAS : E JURUSAN EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITU T AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN 2019 K ATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah swt atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Ahmad Syukron, M.EI selaku dosen kami dalam Mata Kuliah Fiqih Muamalah dan kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca . U ntuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami , k ami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini . Oleh ...