MAKALAH
TRILOGI EKONOMI ISLAM
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Ekonomi Islam
Dosen
Pengampu: Fita Nurotul Faizah, M.E

Disusun
Oleh :
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, dan
karunia-Nya kepada kami semua, sehingga kami dapat menyelesaikan dan menyusun
makalah ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Fita Nurotul Faizah.
Kami menyadari bahwa
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk
itu saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan dan
peningkatan kualitas makalah. Semoga bermanfaat bagi semua pihak baik penyusun
maupun pembaca.
Pekalongan, 16 September 2018
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI............................................................................................................ii
1.2 Rumusan
Masala
1,3 Tujuan
Masalah
BAB II.................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN...................................................................................................... 2
2.1
Teologi Ekonomi Islam................................................................................ 2
2.2
Kosmologi Ekonomi Islam...........................................................................
2.3
Antropologi Ekonomi Islam..........................................................................
BAB III.......................................................................................................................
PENUTUP..................................................................................................................
3.1
SIMPULAN...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ekonomi adalah bagian dari kebudayaan, dan
sebagai bagian dari kebudayaan, ekonomi islam pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dari pandangan tauhid sebagai dasar pandangan hidup seorang muslim
yang meliputi dimensi teologi, kosmologi dan antropologi yang menjadi dasar
terbentuknya suatu kebudayaan. Dimensi ekonomi dalam islam pada dasarnya tidak
dapat dipisahkan dari ajaran agama serta aktivitas ekonomi manusia. Serta
teologi, kosmologi dan antropologi menjadi landasan konsep ekonomi islam. Dalam
prinsip integralisme tauhid, ekonomi islam didasarkan pada beberapa prinsip.
Dengan adanya prinsip-prinsip itu harus menjadi landasan bangunan sistematik
ekonomi islam.
Di dalam islam
terdapat banyak syir’ah, banyak jalan, banyak pemahaman, dan juga banyak aliran
dan praktik. Sebagai jalan pemikiran, pemahaman, aliran dan praktik hidup
manusia, maka tidak pernah menempati hidup manusia, maka tidak pernah menempati
kebenaran yang mutlak dan tidak boleh untuk dimutlakkan[1].
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Teologi Ekonomi Islam?
2. Apa itu Kosmologi Ekonomi Islam?
3. Apa itu Antropologi Ekonomi Islam?
1.2 Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui definisi telogi, kosmologi dan antropologi ekonomi
islam
2. Agar dapat mengetahui pengaruh al qur’an dalam kosmolgi islam
3. Untuk mengetahui ayat-ayat yang menunjukan penciptaan alam semesta dan
penafsirannya
4. Untuk mengetahui visi tauhid manusia
BAB II
PEMBAHASAN
- Teologi
Ekonomi Islam
Teologi ekonomi lslam adalah
nilai-nilai ketuhanan yang menjadi dasar dari kegiatan ekonomi seorang muslim.
Dimensi teologi dalam ekonomi Islam berkaitan dengan asal usul kejadian manusia
di dunia ini yang kodratnya adalah sebagai ciptaan tuhan. Dengan dasar bahwa
manusia itu ciptaan tuhan. Maka dengan sendirinya dimensi teologi itu selalu
menjadi dasar dan melekat dalam setiap perbuatan manusia, termasuk dalam
kegiatan ekonomi.
A. Tuhan Sebagai Penjamin Kehidupan Manusia
Dalam Islam manusia adalah ciptaan
Tuhan, makhluk Tuhan dan karenanya Tuhan menjadi penjamin hidupnya dimuka bumi
ini. Hidup ada dalam Tuhan dan di luar Tuhan tidak mungkin hidup dan tidak ada
kehidupan sama sekali. Al-Qur'an mengatakan:
كلوا واشربوأ من رزق الله وﻻ تعثوا في اﻻرض مفسدين
Artinya: Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah. dan
,janganlah kamu berkeliyaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan [Qur'an
2:60].
Karena itu. sumber untuk sandang,
pangan dan papan yang diperlukan manusia dalam kehidupannya sudah di sediakan
oleh Penciptanya yang telah ada dan tersedia di bumi ini seisinya karena
sesungguhnya semua yang ada di muka bumi ini untuk manusia. Selanjumya
al-Qur'an menjelaskan:
الذى جعل لكم اﻻرض فرشا والسماء بناء وانزل من السماء ماء فأخرج به من
الشمرت رزق لكم فﻻ تجعلوا لله اندادا وانتم تعلمون
Artinya : Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah buahan sebagai rezeki untukmu
kaena itu janganlah knmu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu mengetahui. [Qur’an 2:22]
Dalam kaitan ini, Tuhan sebagai
Pencipta alam semesta seisinya dan juga Pencipta manusia, bertindak sebagai
Pemberi rezeki dan penjamin hidup pada manusia dan juga makhluk hidup lainnya.
AlQur’an mengatakan:
وما خلقت الجن واﻻنس اﻻ ليعبدون
Artinya: Dan Aku tidak menciptakann jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
(Qur'an 51:56)
B. Tinggi Rendah dan Sedikit Banyak Rezeki
Sasungguhnya Tuhan memuliakan
manusia antara satu dan yang lainnya dengan rezeki atau kekayaan yang diberikan
kepada memeka.Dalam kehidupan sehari-hari, nampak kemuliaan seseorang juga
ditentukan oleh rezeki atau kekayaan yang di perolehnya, oleh pendapat yang
didapatkan dalam kegiatan ekonominya. Alqur'an mengatakan :
والله فضل بعضكم على بعض فى الرزق
فما الذين فضلوا برا دى رزقھم على ما ملكت ايمنھم فھم فيه سواء افبنعمت
الله يجحدون
Artinya: Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain
dalam rezeki, tetapi orang-ornng yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau
memberikan rezeki mereka kelada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka
sama (merasakan) rezeki itu. maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?
[Qur'an 16:71].
Tinggi rendah dan banyak sedikitnya
rezeki yang diterima manusia sesungguhnya ditentukan oleh tinggi rendah
kualitas dirinya dan banyak sedikitnya ditentukan oleh banyak sedikitnya amal
perbuatan dan kebaikan manusia sendiri. Al-Qur'an mengatakan :
واذا
اذقنا الناس رحمة فزحوا بھا وان تصبھم
سيئة بما قدمت ايديھم اذا ھم يقنطون
Artinya: Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia.
niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. Dan apabila mereka ditimpa suatu
musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mareka
sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa. [Qur'an 30:36]
Teologi ekonomi Islam menegaskan
bahwa rezeki atau kekayaan yang diperoleh manusia pada hakikatnya diberikan
kepadanya sebagai jaminan dari Penciptanya sendiri, dari Tuhan sendiri. Dalam
konteks ini, rezeki atau kekayaan yang diperolehnya tidak dapat dimiliikinya
secara multak karena di dalam rezeki atau kekayaan yang dimilikinya itu manusia
tidak mempunyai peranan yang mutlak. Ada faktor alam dan manusia lainnya yang
terlibat dalam setiap kegiatan ekonominya.
Kekayaan atau rezeki yang pada
hakikamya anugerah dan pemberian Tuhan kepada manusia. sesungguhnya tenaga,
fikiraa dan kemampuannya juga diwarisi dan diperoleh dari proses yang
multidimensional, baik pada tataran teologis, kosmologis maupun antropologis,
dan karenanya bukanlah milik mutlak dirinya sendiri. Di dalamnya ada tanggung
jawab dan kewaiiban teologis, kosmologis dan antropologis.
Kewajiban teologis adalah kewajiban
yang dipikul manusia dari Tuhannya untuk selalu menyesuaikan dan menjalankan
hukumhukum-Nya. Kewajiban kosmologis adalah kewajiban untuk memelihara
kelangsungan dan keharmonisan hidup kosmos, tidak boleh merusak karena merusakkosmos adalah merusak seluruh
kehidupan yang ada di dalamnya. Sedangkan kewajiban antropologis adalah semua
yang dimiliki seseorang, di dalamnya ada keterlibatan manusia lainnya sehingga
dalam harta dan kekayaan seseorang ada kewajiban social dan kultural yang harus
dijalankan untuk keharmonisan dan keselarasan kehidupan bersama.
2.
DEFINISI KOSMOLOGI
Kosmos dari bahasa Yunani artinya dunia teratur, bentuk atau
susunan benda. Istilsh ini bahasa sederhananya adalah keteraturan alam.
Kosmologi atau
dalam bahasa inggrisnya “cosmology” adalah gabungan dari dua kata yaitu “cosmo”
dan “logos” yang berasal dari bahasa Yunani. “cosmo” berarti alam semesta atau
dunia yang teratur, dan “logos” berarti ilmu dengan maksud penyelidikan atau
asas-asas rasional. Dengan demikian Kosmologi adalah satu kajian berkenaan
evolusi dan struktur alam semesta yang teratur yang ada masa kini. Kamus Webster
pula mentakrifkan Kosmologi sebagai teori atau falsafah mengenai wujud alam
semesta, kamus Oxford dengan ringkas menyebutnya sebagai sains dan teori alam
semesta. Kosmologi berkaitan dengan pandangan dunia (world view). Hal ini
karena kajian mengenai pandangan dunia merupakan suatu percobaan untuk mengkaji
bagaimana suatu kelompok manusia memandang alam natural dan alam supernatural,
serta masyarakatnya dan diri mereka sendiri. Jika di Barat pemikiran mengenai
Kosmologi bermula di Yunani, maka di Timur ada China, India, dan Persia yang
mempunyai saham besar dalam mencirikan Kosmologi.
Kesulitan eksperimen untuk memapankan sebuah teori Kosmologi,
sampai pada abad pertengahan hipotesis dasar Kosmologi lahir dari pemahaman
dari pemikiran manusia tempo dulu, mitos, pengataman yang terbatas, dan
teologi. Teologi menjadi sumber yang paling banyak berkontribusi.
·
Mitos misalnya, ada kosmologi bangsa viking yang terkenal (yang
kemudian menjadi basis dasar Tolkien dalam membangun dunia fantasi
middle-earth-nya), atau bagaimana kepercayaan bangsa maya tentang penciptaan
alam semesta. Dari teologi, hampir seluruh agama menyertakan cerita alam
semesta; Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, dan Islam. Setelah sains berkembang dan
teknologi memadai, baru kemudian pengamatan secara signifikan berkontribusi
pada Kosmologi.
A.
PENGARUH AL-QUR’AN DALAM KOSMOLOGI
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Al-Quran memperlakukan
seluruh apa yang diciptakan sebagai tanda (sign), ayat. Hal ini termasuk alam
semesta dan semua yang ada di dalamnya. Menurut definisinya, ayat merujuk
kepada sesuatu selain dirinya sendiri. Dengan demikian, jika dilihat dari
perspektif Al-Quran, alam semesta dan semua yang ada di dalamnya merupakan
tanda-tanda Sang Pencipta yang diciptakan melalui perintah sederhana: Jadilah
(be, kun) (QS. 36:82). Meskipun Al-Quran memberikan penjelasan yang sangat
spesifik mengenai penciptaan kosmos, ia tidak memberitahu kita dengan apa
dibuatnya atau kapan. Selain itu, penting untuk diingat bahwa alam semesta
menurut Al-Quran bukan hanya materi fisik yang terdiri dari bintang-bintang,
planet dan entitas fisik lainnya, tetapi juga mencakup kosmos spiritual yang
dihuni oleh entitas nonfisik. Kosmos nonfisik itu terdiri dari tingkat-tingkat
eksistensi yang tak terhitung dan jauh lebih unggul dari alam fisik yang
menempati posisi relatif rendah dalam tingkat eksistensi.
Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat
diringkas sebagai berikut: alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan.
Setelah menciptakan alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya, Tuhan
tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan selalu membutuhkan
Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum mewujudnya
suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang
ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan
jenis baru di bawah seperangkat hukum yang sama sekali baru.
Secara umum, penciptaan dan akhir dari kosmos dapat ditemukan di
ayat-ayat yang dilengkapi dengan rincian spesifik yang tersebar di seluruh
Al-Quran. Alam semesta diciptakan dalam enam hari (QS. 7:54-56; 25:59),
penciptaan bumi dalam dua masa (QS. 41:9), Tuhan juga menciptakan tujuh langit
(QS. 2:29), tujuh langit yang berlapis-lapis (QS. 67:3). Tuhan menghiasi langit
dengan bintang-bintang (QS. 67:5); Dia yang menggerakkan semua bintang dan
planet-planet sehingga dapat membimbing perjalanan manusia dengan posisi mereka
(QS. 6:97); Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam
(QS. 39:5). Sangat penting untuk dicatat bahwa kata “hari” yang digunakan dalam
ayat-ayat ini dalam tradisi Islam selalu dipahami secara non-kuantitatif.
Al-Quran itu sendiri menjelaskan bahwa sehari disisi Tuhan adalah seperti
seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. 22:47). Dalam ayat lain disebutkan satu
hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun (QS. 70:4). Karena itu aliran
skala waktu dalam penjelasan Al-Quran mengenai asal—dan juga sejarah—kosmos
didasarkan pada konsep kualitatif waktu. Walaupun riwayat ini memiliki
kemiripan tertentu dengan penjelasan Bibel tentang penciptaan, tetapi pada
dasarnya sangat berbeda dari Genesis, dan hal ini dapat menjadi salah satu
alasan mengapa belum ada kesejajaran dengan “Bumi muda” dalam tradisi Islam.
Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana atau kapan kosmos diciptakan,
hal itu sebagai undangan kepada pembacanya untuk mempelajari dunia fisik.
Bahkan, undangan Al-Quran untuk mengamati kerja kosmos ini diulang-ulang
seolah-olah seperti mendesak kepada pembacanya bahwa budidaya sains modern
merupakan sebuah kewajiban agama bagi seorang Muslim—perintah yang ditentukan
oleh Al-Quran itu sendiri. Apakah benar atau tidak, pendekatan sederhana ini
bukan untuk menjustifikasi tujuan undangan Al-Quran, karena Al-Quran mengajak
pembacanya untuk mengamati ketertiban dan keteraturan alam semesta yang hal ini
untuk mengekspresikan tujuan dari memahami realitas yang berada di luar dunia
fisik. Undangan untuk mengamati alam fisik sering diikuti perintah tegas
ketertiban dan keteraturan alam semesta adalah tanda kehadiran satu-satunya
Pencipta. Ketertiban kosmos adalah bukti kemahakuasaan, kekuasaan, dan
kebijaksanaan Tuhan.
Deskripsi Al-Quran tentang dunia memainkan peran sentral sehingga
memunculkan kosmografi yang berbeda dalam pemikiran Islam. Kosmografi ini
menggambarkan fitur utama dari kosmos yang dikembangkan melalui sebuah proses
kompleks yang melibatkan berbagai aliran pemikiran, termasuk menerjemahkan
karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, interaksi antara berbagai sekolah
pemikiran dalam tradisi filsafat Islam, perdebatan teologis tentang Allah,
sifat-sifat-Nya, hubungan-Nya dengan dunia, dan masalah serupa lainnya dari
dinamika internal masyarakat Muslim yang banyak muncul sebelum gerakan
terjemahan. Isu-isu ini tidak hanya berupa pertanyaan-pertanyaan intelektual
yang timbul dari penafsiran Al-Quran tapi juga berdimensi politis, teologis,
dan sosial. Perdebatan mengenai pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan berbagai
sekolah pemikiran yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sekolah
utama: Mu`tazilah dan Asy`ariyah, keduanya tertarik dalam kosmologi dan
merumuskan suatu teori yang menyeluruh tentang penciptaan. Secara umum, diakui
bahwa alam fisik yang eksis dalam skema besar penciptaan mencakup berbagai tingkat
eksistensi, termasuk nonfisik, dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari konteks
tersebut. Kosmografi sebagaimana gambaran para Sufi bahwa dunia fisik memiliki
tingkatan-tingkatan wujud dan eksistensi tertentu.
Kosmografi yang muncul dalam pemikiran Islam setelah gerakan
terjemahan didominasi oleh perdebatan atas pertanyaan tentang keabadian dunia
atau penciptaannya ex nihilo dalam waktu. Arus utama perdebatan dalam pemikiran
Islam mengenai masalah penciptaan dan keabadian terjadi antara filsuf Helenis
Muslim dan lawan-lawannya yang disebut para pemikir ortodoks, dan seluruh
perdebatan yang muncul telah keluar dari krisis yang dihasilkan oleh gerakan
terjemahan. Pada kenyataannya, hal ini jauh lebih bernuansa. Misalnya, secara
kosmografi dunia fisik terbagi menjadi daerah celestial dan terrestrial, sama
seperti pendapat Aristoteles, tapi hal ini tidak berarti mencakup penerimaan
segala hal tentang pemikiran Aristoteles. Bahkan filsuf Islam yang paling
Helenis (Ibn Sina dan Ibn Rusyd) telah mengubah konsep kosmos dan keabadiannya
dari Aristoteles, meskipun mereka menerima keabadian dunia.
Modifikasi kosmos Aristotelian ini bukan hanya cara yang cerdas
dari pengulangan hal yang sama. Misalnya, substansi alam fisik yang sebenarnya,
dipahami oleh Aristoteles sebagai “materi” dari sebuah abstraksi yang hanya
bisa dicapai melalui eksperimen pikiran. Dalam buku Metaphysics, dia menyatakan
bahwa substansi adalah “yang tidak didasarkan kepada subjek, tapi semua
didasarkan atasnya”. Pernyataannya itu sendiri tidak jelas, dan selanjutnya
pada pandangan ini, materi menjadi substansi. Karena jika hal ini tidak menjadi
substansi, maka kita akan mengalami kesulitan untuk mengatakan apa yang selain
itu. Ketika semuanya diambil, jelas yang tersisa hanya materi. Elemen lain berupa
rasa, produk, kapasitas tubuh, panjang, luas, dan tinggi; semuanya adalah
kuantitas dan bukan substansi. Kuantitas bukanlah substansi; tetapi substansi
merupakan derajat utama atas kandungannya. Ketika sifat panjang, luas, dan
tinggi dikeluarkan, tidak ada yang tersisa kecuali yang dibatasi oleh hal
tersebut, apa pun bisa; dengan demikian materi sendiri yang menjadi substansi.
Adapun materi yang saya maksud adalah kandungannya sendiri di luar yang lain,
bukan dalam hal tertentu atau bukan jumlah tertentu atau bukan kategori yang
ditentukan oleh yang lain.
Deskripsi ini diserang sejak pertengahan kedua pada abad kedelapan.
Misalnya, Jabir bin Hayyan menyatakan konsepsi materi ini hanya “omong kosong”,
ada keraguan dalam tradisi Plotinus, dia menyebutnya “bayangan hanya atas
bayangan”: [Anda percaya] itu bukan tubuh, tidak ada predikat apa pun yang
didasarkan kepada tubuh. Hal ini sebagaimana klaim Anda, bentuk sesuatu tidak
dibeda-bedakan dan elemen dari objek yang diciptakan. Sebagaimana Anda katakan,
gambaran ini [entitas], hanya eksis dalam imajinasi dan tidak mungkin
memvisualisasikannya sebagaimana entitas didefinisikan. Semua ini adalah omong
kosong.
Demikian pula mengenai materi prima-nya Aristoteles yang dianggap
kekal dan tidak dapat dihancurkan, tidak diterima dalam tradisi Islam oleh
mayoritas filsuf-ilmuwan. Bahkan, pada pengamatan yang lebih seksama kita
menemukan banyak kesamaan antara tradisi kosmologi Aristotelian dan skema
kosmologis Islam tetapi tidak mendasar; sebenarnya ada perbedaan yang mendalam
di antara ide-ide mendasar dari dua tradisi ini. Seperti terlihat sebelumnya,
para filsuf yang menerima keabadian dunia menurut Aristoteles tetapi tidak
menerima sistem Aristotelian secara totalitas, melainkan mereka membuat skema
konseptual yang sama sekali baru. Pada kasus ini, Ibnu Sina dapat dijadikan
contoh. Kita akan membahas ide-idenya bersama dengan penolakan terhadap
Aristotelian oleh para ilmuwan lain dalam pembahasan khusus.
Justifikasi adanya ‘pertempuran’ habis-habisan antara filsuf dan
teolog melemah, karena meskipun banyak filsuf Muslim percaya pada kekekalan
dunia ini (pengaruh Aristoteles) ada juga pengecualian. Al-Kindi—yang secara
universal diakui sebagai filsuf Muslim pertama—menolak keabadian materi dan
alam semesta, meskipun di pikirannya ada pengaruh dari Aristoteles dan
Plotinus. Dalam risalahnya yang berjudul On First Philosophy, Al-Kindi
menggunakan kata ibda` (yang berarti “memulai sesuatu dari ketiadaan”) untuk
menunjukkan penciptaan ex nihilo. Al-Kindi juga mengembangkan tiga argumen
mengenai penciptaan alam semesta:
a)
Argumen mengenai ruang, waktu, dan gerak.
b)
Argumen mengenai komposisi, dan
c)
Argumen mengenai waktu.
B.
AYAT-AYAT YANG MENUNJUKKAN PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DAN
PENAFSIRANNYA
Dalam meruntut pembicaraan al-Qur’an tentang Kosmologi, pemakalah
dalam penentuan ayat- ayat yang terkait, mengambilnya dari konsep yang
ditawarkan Achmad Baiquni tentang penciptaan alam semesta dalam bukunya
Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman. Karena pembahasannya sejalan dengan pengetahuan
Kosmologi modern. . Ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan penciptaan alam
semesta itu adalah:
1.
QS. al-Anbiya’/21: 30
Dan apakah orang-orang yang kafir
tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu
yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? QS.
al-Anbiya’/21: 30.
Tema sentral QS. al-Anbiya’ adalah
tentang kenabian. Ia dawali dengan uraian tentang dekatnya hari kiamat dan
keberpalingan manusia dari ajakan kebenaran. Ayat ini termasuk dalam
pengelompokan ayat (ayat 21-33 QS. al-Anbiya’) yang berbicara tentang bukti
keesaan Allah dan kuasa-Nya. Setelah pada ayat sebelumnya mengemukakaan tentang
berbagai argumen tentang keesaan Allah baik yang bersifat aqli maupun naqli;
yakni yang bersumber dari kitab-kitab suci, maka kini kaum musyrik diajak untuk
menggunakan nalar mereka guna sampai pada kesimpulan yang sama dengan apa yang
dikemukakan itu.Kata ratqan dari segi bahasa berarti terpadu atau tertutup
sedang fafataqnaahumaa terambil dari kata fataqa yang berarti terbelah/
terpisah. Ibnu ‘Abbas menyatakan lalu Allah memisahkan keduanya dan Dia
mengangkat langit ke posisi di mana ia berada sedang Bumi tetap pada tempatnya.
Ka’ab mengatakan bahwa Allah menciptakan langit yang padu lalu Ia menciptakan
uadara yang dihembuskan ke tengh-tengah keduanya sehingga keduanya terpisah.
Langit itu dikatakan ratqan apa bila
tidak turun hujan dan bumi dikataka ratqan bila tidak ada retakan. Lalu Allah
memisahkan keduanya dengan air dan tumbu-tumbuhan yang menjadi rezki bagi
manusia.Firman Wa ja’alnaa min al-ma-i kull syay-i hayy ada yang memaknainya
dalam arti segala yang hidup membutuhkan air, atau pemeliharan kehidupan segala
sesuatu adalah dengan air, atau kami jadikan cairan yang terpancar dari shulbi
(sperma) segala yang hidup yakni dari jenis binatang. Sebagian mufassir
mengartikannya termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan dan pohon yang tumbuh
karena ada air yang menjadikannya subur, hijau dan berbuah.Ayat di atas
mengisyaratkan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan padu. Alam yang padu itu
lalu dipisahkan oleh Allah. Namun al-Qur’an tidak menjelaskan kapan dan
bagaimana terjadinya pemisahannya itu.
2.
QS. Adz-Dzariyat/51: 47
Dan langit itu kami bangun dengan
kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa. QS.
Adz-Dzariyat/51: 47 Tema utama QS Adz-Dzariyat adalah uraian tentang hari
kiamat yang dibuktian antara lain dengan membuktikan keesaan Allah. Ayat di
atas termasuk kelompok ayat 38- 51 QS. Adz-Dzariyat) yang membuktikan keesaan
Allah dengan tokoh sentralnya nabi Musa.
Menurut al-Biqa’i ayat yang
sebelumnya menegaskan bahwa siksa yang menimpa generasi yang terdahulu
bersumber dari atas langit. Boleh jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut
disebabkan karena kerusakan yang terjadi pada ciptaan Allah—di langit itu. Ayat
ini menampik dugaan tersebut sambil menegaskan kekokohan dan kuatnya ciptaan
Allah itu. Kata ayd bentuk jamak dari yad/ tangan. Banyak ulama yang
mengartikannya kuasa dan ada juga yang mengartikannya nikmat. Maha luas Kuasa
serta Maha luas Nikmat-Nya. Kalimat wa innaa lamuusi’uun/ sesungguhnya kami
benar- benar maha Luas difahami oleh al-Biqa’i dengan pengertian maha Kaya lagi
maha Kuasa tanpa batas. Terambil dari kata wus’u yakni kemampuan.
Komentar tim pengusun Tafsir
al-Muntakhab yang terdiri dari pakar Mesir kontemporer bahwa ayat ini
mengisyaratkan beberapa isyarat ilmiah. Antara lain, Allah menciptakan alam
yang luas ini dengan kekuasaan-Nya. Dia maha Kuasa atas segala sesuatu. Kata
sama’ berarti segala sesuatu yang berada di atas dan menaungi. Maka segala
sesuatu yang ada di sekitar benda langit dan tata surya di sebut sama’. Alam
raya kita amat luas, lalu mengartikan wa innaa lamuusi’uun/ sesungguhnya kami
benar- benar maha meluaskan (yakni alam raya ini) menunjukkan hal itu. Artinya,
kami meluaskan alam itu sebegitu luasnya semenjak diciptakan. Ayat tersebut
juga menunjukkan bahwa meluasnya alam ini terus berlangsung sepanjang masa.
3.
QS. Al-Fush-shilat/41: 9.
Katakanlah: "Sesungguhnya
patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan
sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta
alam". QS. Al-Fush-shilat/41: 9
Tema utama QS. Al-Fush-shilat adalah
pembuktian tentang kebenaran al-Qur’an, bantahan terhadap kepercayan kaum
musyrikin serta ancaman terhadap mereka. Dan tuntunan kepada nabi bagaimana
menghadapi mereka. Ayat sebelumnya berisikan kecaman terhadap orang musyrikin, baik
karena sikap mereka menyekutukan Allah, keniscayaan kiamat dan kedurhakaan
lainnya. Ayat ini menjelaskan betapa buruknya sikap tersebut sekaligus
memaparkan betapa kuasanya Allah. Firman-Nya latakfuruwna/ kamu kafir terkait
dengan beberapa persoalan, antara lain: pernyataan mereka bahwa Allah tidak
sanggup membangkitakan kembali orang yang telah meninggal, mempertanyakan
tentang kerasulan nabi Muhammad dan pernyataan mereka bahwa Allah punya anak.
Dan Perbuatan menyekutukan Allah itu merupakan perbuatan aniaya yang besar
(zulmun kabiirun).
4.
QS. Al-Fush-shilat/41: 10
Dan dia menciptakan di bumi itu
gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan
padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu
sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. QS. Al-Fush-shilat/41: 10
Allah menciptakan bumi serta memperindahnya. Juga menciptakan gunung yang kukuh
di atasnya agar bumi yang terus berotasi itu tidak oleng. Dan ia melimpahkan
aneka kebajikan sehingga ia berfungsi sebaik mungkin da dapat menjadi hunian
yang nyaman buat manusia dan hewan. Serta menentukan kadar makanan- makanan
untuk para penghunyinya. Semua itu telaksana dalam empat hari; dua hari untuk
penciptaan bumi dan dua hari untuk pemberkahan dan penyiapan makanan bagi para
penghuninya.Kata qaddara berarti memberi kadar, yakni kualitas, kuantitas cara
dan sifat-sifat tertentu sehingga dapat berfungsi dengan baik. Dapat juga
berarti memberinya potensi untuk menjalankan fungsi yang ditetapkan Allah bagi
masing-masing. Kata aqwat merupakan bentuk jama’ dari kata qut yang
pengertiannya mencakup makna pemeliharaan dan pengawasan Allah, sehingga
penentuan kadar qut ini tidak hanya menyangkut makanan jasmani tetapi mencakup
pengaturan Allah terhadap bumi yang menjadi hunian manusia. Sebagai contoh
terkait gaya Gravitasi Bumi sehingga ia berputar/rotasi pada garis edarnya dan.
Gaya Gravitasi benda-benda langit ini melindunginya juga untuk tidak melenceng
dari garis edarnya sehingga tidak saling bertabrakan. Dan wa qaddara fiyhaa
menurut Muhammad ibn Ka’ab menentukan makanan bagi tubuh sebelum penciptaannya.
Mujahid mengatakan Allah menentukan makanan dari hujan, yang dimaksud di sini
makan untuk Bumi bukan untuk penduduknya.
Di antara bukti-bukti tentang keesaan dan kemahakuasaan Allah itu
ditegaskan dalam al-Qur’an tentang penciptaan alam semesta yang begitu hebat
pengaturan, begitu menakjubkan, begitu luar biasa indah… semua itu tentu
petunjuk adanya yang Mahaesa, Maha Pencipta; Allah Subhanah wa Ta’ala. Demikian
juga dengan ayat tentang penciptaan alam yang madaniyah, karena di antara
kandungan ayat madaniyah adalah sikap terhadap orang kafir, musyrik dan ahl
al-kitab. Itulah gambaran kandungan ayat-ayat tentang penciptaan alam semesta
dalam kerangka di atas.
Berikut tathbiq (meminjam istilah M Quraish Shihab) Achmad Baiquni
terhadap ayat-ayat yang terkait dengan penciptaan alam semesta:
1)
Pada saat penciptaan (sekitar 12 milyar tahun yang lalu), langit
(ruang waktu) dan bumi (ruang materi), yang semula padu (dalam titik
singularitas fisis), dipisahkan (ketika keluar dari padanya) QS. Al-Anbiya’/21:
30.
2)
Dalam pembangunan langit (ketika ruang waktu keluar dengan ledakan
yang dahsyat dari titik singularitas) dilibatkan kekuatan yang tiada taranya
(sehingga terjadi gejala inflasi), yang kemudian diekspansikan (sebagaimana ia
tampak kini sebagai sebagai universum yang mengembang) QS. Adz-Dzariyat/51: 47
3)
Pada pendinginan yang sangat cepat (sebagai akibat inflasi tercapai
keadaan “kelewat dingin”) dan terjadi transisi fase, yang menyebabkan
materialisasi energi secara berangsur, (bersamaan dengan terciptanya alam-alam
lain di samping kita): materi yang muncul sebagai fase kedua sedangkan energi
adalah fase pertamanya QS. Al-Fush-shilat/41: 9
4)
Dengan adanya energi materi dalam ruang alam, maka dimunulkanlah
spin partikel sub nuklir, elektron, foton, dan lainnyasebagai gerak pusaran
serta ditetapkannya satu muatan-muatan yang merupakan sumber kekuatan atau gaya
(gravitasi, nuklir kuat, nuklir lemah, dan listrik magnet) dalam empat tahapan
QS. Al-Fush-shilat/41: 1
5)
Sementara itu, ketika langit (ruang alam) penuh “embunan” (sebagai
akibat dari inflasi, sehingga energi berubah menjadi materi). Allah
mengundangkan segala peraturan yang ditaati ruang dan materi (sebagai hukum
alam yang mengendalikan sifat dan kelakuan jagad raya) QS. Al-Fush-shilat/41:
11
6)
Allah menjadikan tujuh langit (ruang alam) dalam dua tahap, (pada
saat inflasi dan sesudahnya) dan menetapkan hukum-hukum alam yang berlaku di
dalamnya. Serta menghiasi langit dunia dengan pelita-pelita (dalam bentuk
bintang, bulan, mata hari dan sebagainya) serta menjaganya ( dengan memberikan
atmosfer, lapisan ozon dan sebagainya) QS. Al-Fush-shilat/41: 12
7)
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit (ruang alam) dan tujuh Bumi
padanannya (atau materi masing-masing alam yang di dalam ayat tersebut
dinyatakan memiliki hukum mereka masing-masing yang tidak perlu sama) QS. Ath-
Thalaq/65 : 12
8)
Allah menciptakan langit (ruang alam) serta bumi (materi alam) dan
apa saja yang berada di antaranya dalam enem priode atau tahapan, sambil
menegakkan pemerintahan-Nya. (tahap inflasi dan tahap ekspansi ruang alam yang
sesuai dengan tahap energi dan tahap materialisasi yang diikuti tahap
penciptaan interaksi gravitasi, nuklir kuat, nuklir lemah dan elektromagnetik)
QS. al-Sajdah/ : 4
9)
Dia menciptakan langit (ruang alam) serta bumi (materi alam) dalam
enam tahapan sementara itu telah ditegakkan pemerintahan-Nya pada materi yang
bersifat fluida (atau segal peraturan atau hukum alam-Nya telah efektif pada
seluruh makhluk-Nya, yang pada waktu itu masih berujud zat alir yang sangat
rapat dan sangat panas) QS. Hud/11: 7
10)
Allah menahan alam semesta
untuk tidan “mbedal” dan untuk tidak mengembang terus tanpa henti QS.
Fathir/35: 41
11)
Allah akan mengecilkan
kembali jagad raya seperti sedia kala, ketika jagad raya diciptakan pada
awalnya, yang menjamin bahwa alam kita bersifat tertutup (closed universe) QS.
al-Anbiya’/21: 104
3. ANTROPOLGI
EKONOMI ISLAM
Secara harfiah, dalam bahasa yunani, kata Antropos berarti manusia
dan logos berarti studi, sehingga antropologi merupakan suatu disiplin
ilmu yang berdasarkan rasa ingin tahu tentang manusia (R.Ember & Melvin
Ember, 1996: 1). Suatu segi yang menonjol dari ilmu antropologi ialah pendektan
secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia, tidak hanya mempelajari
beragam jenis manusia, mereka juga mempelajari aspek dari pengalaman-pengalaman
manusia.[2]
Salah satu ajaran dalam Al-Qur’an yang nampaknya tidak mendapat cukup
banyak perhatian ialah yang berkenaan dengan aspek-aspek antropologis.[3]
Dalam Al-Qur’an ada tiga daya rohaniah yang menjadi sarana untuk memahami
suatu kebenaran, yaitu pikiran, akal, dan hati nurani. Ketiganya dipakai dalam
konteks dan kapasitas yang berbeda.[4]
Dalam kegatan eonomi dan bisnis, faktor manusia sangatlah penting karena
manusia disamping sebagai subyek ekonomi dan bisnis jua menjadi obyeknya.
Sebagai subyek manusia berperan sebagai pencipta sekaligus sebagai pelaku, baik
sebagai pengusaha atau karyawan yang terlibat dalam berbagai aspek kegiatan ekonomi
dan bisnis. Sebagai objek, manusia berperan sebagai konsumen maupun obyek
pemasaran dari suatu produk.[5]
Karena itu, kegiatan ekonomi dan bisnis akan ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusianya[6],
dan dalam proses pemahamannya menggunakan suatu sarana rohaniah dengan kata
sebutan pikiran[7].
Dalam ekonomi islam, perlu penjelasan tentang konsep manusia karena dari
kejelasan konsep manusia, bisa dikembangkan konsep ekonomi islam[8].
Dalam menghadapi persoalan kemanusiaan yang semakin kompleks, filsafat dan agama
pada hakikatnya merupakan tuntutan dari realitas kehidupan itu sendiri dan
sangat diperlukan[9]
Tanpa dasar filsafat manusia dalam islam, rasanya penjelasan tentang
ekonomi islam tidak memperoleh dasar pemikiran yang konkret.
A. Visi Tauhid Manusia
Sebenarnya pandangan islam terhadap realitas yang ada bersifat tauhid,
yaitu tunggal dan integral, baik dalam pandangan teologi, kosmologi maupun
antropologi.
Dalam Al-Qur’an manusia disebut an-nafs yaitu diri pribadi, keakuan, ego,
atau self. Hubungan manusia dengan tuhan adalah hubungan antara dua nafs,
sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an[10] :
øÎ)ur tA$s% ª!$# Ó|¤Ïè»t tûøó$# zNtótB |MRr&uä |Mù=è% Ĩ$¨Z=Ï9 ÎTräϪB$# uÍhGé&ur Èû÷üyg»s9Î) `ÏB Èbrß «!$# ( tA$s% y7oY»ysö6ß $tB ãbqä3t þÍ< ÷br& tAqè%r& $tB }§øs9 Í< @d,ysÎ/ 4 bÎ) àMZä. ¼çmçFù=è% ôs)sù ¼çmtGôJÎ=tæ 4 ãNn=÷ès? $tB Îû ÓŤøÿtR Iwur ÞOn=ôãr& $tB Îû y7Å¡øÿtR 4 y7¨RÎ) |MRr& ãN»¯=tã É>qãäóø9$# ÇÊÊÏÈ
Artinya : “dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera
Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku
dua orang Tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha suci Engkau,
tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku
pernah mengatakan Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan
aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha
mengetahui perkara yang ghaib-ghaib (Qur’an 5:116)"[11].
Setiap manusia mempunyai beban kewajiban sesuai dengan kemampuan dirinya
karena tuhan tidak pernah membebani manusia diluar kemampuannya, dan manusia
tidak pernah dizalimi oleh Tuhannya. Manusia hanya bertanggungjawab atas
perbuatannya sendiri, tidak bertanggung jawab atas perbuatan lainnya.
B. Monodualisme Unsur Teos dan Kosmos
Monodualisme manusi adalah suatu pandangan adanya kesatuan diri manusia
yang berasal dari dua unsur, seperti kesatuan jasmani dan rohani, juga
kesatuaan dunia dan akhirat. Termasuk dalam pandangan monodualisme adalah
kesatuan teos dan kosmos dalam diri manusia. Unsur kosmos dijelaskan dalam
al-Qur’an berikut[12] :
uqèd Ï%©!$# Nà6s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜR §NèO ô`ÏB 7ps)n=tæ §NèO öNä3ã_Ìøä WxøÿÏÛ §NèO (#þqäóè=ö7tFÏ9 öNà2£ä©r& ¢OèO (#qçRqä3tFÏ9 %Y{qãä© 4 Nä3ZÏBur `¨B 4¯ûuqtGã `ÏB ã@ö6s% ( (#þqäóè=ö7tFÏ9ur Wxy_r& wK|¡B öNà6¯=yès9ur cqè=É)÷ès? ÇÏÐÈ
Artinya : “Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes
mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai
seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa
(dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada
yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada
ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya) (Qur’an 40:67).[13]”
Manusia dijadikan makhluk hidup, dan kehidupan menurut Al-Qur’an dimulai
dari Air. Dengan air, tuhan menghidupkan bumi yang mati menjadi hidup. Semua
binatang juga dijadian hidup dari air. Setelah jasad atau tubuh manusia
diciptakan dari tanah dalam berbagai bentuknya, maka kehidupan manusia bermula
dari air dan setelah bentuk dan kehidupan berlangsung dengan baik, maka tuhan
berikan bentuk yang sempurna. Setelah bentuk yang sempurna itu terwujud,
bersujudlah malaikat kepadanya.
C. Monodualisme Fungsi Abd dan Khalifah
Monodualisme manusia itu bukan hanya monodualisme dari unsur teos dan
kosmos tetapi juga monodualise fungsi sebagai “abdun” hamba Allah, dan
“Khalifatullah fil Ardli” yaitu wakil tuhan di muka bumi. Disamping fungsi
manusia sebagai khalifah, manusia juga memikul beban sebagai hamba tuhan, abd
minallah atau abdullah. Jika dasar khalifah adalah kemampuan kreatif yang
bersifat konseptual, maka seorang abdun pada dasarnya adalah ketaatan,
kepatuhan atau ketundukan yang sifatnya moralitas spiritual sebagaimana yang
dijelaskan Al-Qur’an berikut :
bÎ) @à2 `tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur HwÎ) ÎA#uä Ç`»uH÷q§9$# #Yö7tã ÇÒÌÈ
Artinya : ”tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang
kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.”
Karena itu, tugas khalifa dalam penciptaan harus didasarkan pada fungsinya
sebagai abdun yaitu patuh, taat dan tunduk pada hukum-hukum tuhannya baik yang
ada dalam diri sendiri maupun yang ada di alam semesta.
D. Monopluralisme Teos, Kosmos dan Kebudayaan
Manusia adalah makhluk tuhan yang paling kompleks dan unik. Secara
ontologis kebudayaan memang ada karena kberadaan manusia. Jika manusia tidak
ada, maka dipastikan kebudayaan tidak ada. Karena itu, manusia sebagai makhluk
monopluralisme terbentuk dari unsur teos, kosmos dan kultur. Dalam
pertumbuhannya, manusia dibentuk oleh kebudayaan dengan diajarkan untuk
menghargai orang tuanya karena mereka yang membesarkannya. Melalui proses
mengenal antara satu dengan yang lain dengan baik, diharapkan manusia dapat
membangun suatu kerjasama untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Antropologi ekonomi islam juga menekankan adanya prinsip monoprularisme
dalam kegiatan ekonomi yang multidimensional sehingga problem ekonomi seperti
kesejahteraan, keadilan dan kemiskinan tidak dapat dipecahkan oleh pendekatan
tunggal keilmuan atau persial saja. Multipluralisme ekonomi islam juga
mencerminkan adanya kegiatan ekonomi yang amat luasdalam berbagai aspek
kehidupannya dan dalam berbagai lapangan hidupnya, baik disektor keuangan,
perdagangan, perkebunan, kelautan, industri pendidikan dan keagamaan, serta
pengelolaan lingkungan hidup, jasa dan informasi.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Dari uraian
penafsiran para mufassir di atas dan penjelasan (tathbiq) para ilmuan dapat
kita tarik benang merah berikut. Para mufassir mencoba menjelaskan ayat-yat
tentang penciptaan alam semesta tersebut berdasarkan pada aspek kebahasaan
al-Qur’an, penjelasan hadis Rasulullah, penjelasan para
sahabat nabi, munasanah ayat, asbab an-nuzul, pendekatan ilmiah dan aspek-aspek
lainnya.
M. Quraish Shihab
dalam menjelaskan ayat- ayat kauniyah memasukkan juga pendekatan ilmiah dalam
tafsir al-Mishbah demikian Fakhr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib.
Bedanya penjelasan Quraish Shihab agak lebih terperinci sedangkan penjelasan
Fakhr ad-Din ar-Razi lebih sederhana.
Hal ini tentu saja
sangat terkait dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa hidup
mereka.Di dalam ayat-ayat yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat
konsep-konsep yang sulit dipahami jika tidak ditopang oleh penjelasan ilmu
kosmologi modern. Seperti konsep sama’, ardh, al-ma’, ad-dukhan, ‘arsy,
rawasyi, dan aqwat. Perlu penjelasan lebih lanjut terhadap konsep-konsep di
atas. Inilah tugas para ahli kosmologi modern.Hal ini terkait juga dengan
tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Bukan hanya tertuju untuk orang- orang yang terdahulu dari kita. Tapi bagi kita
yang hidup di zaman sekarang dan insya Allah mereka yang hidup setelah kita. Tentu
saja pemahaman terhadap al-qur’an ini disesuaikan dengan tingkat pengetahuan
masing-masingnya. Agar al-Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dalam
kehidupan.
Banyak kebenaran
ilmiah yang dipaparkan al-Qur’an, tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut untuk menunjukkan
kebesaran Allah dan ke-Esaan-Nya. Serta mendorong manusia seluruhnya untuk
melakukan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan
kepada-Nya
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, Achmad,
Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996,
Cet. Ke-1
Konsep- Konsep Kosmologi , media.isnet.org
Kosmologi Islam:
Dari Literatur ke Sains, Febdian.net Manzur, Ibnu, TTh, Lisan al- ‘Arab, Jilid 3, TTp: Dar al-Ma’arif
[1] Musa Asy’arie, Filsafat Ekonomi Islam,
(Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat Islam, 2015), hlm.63-65
[14] Musa Asy’arie, Filsafat Ekonomi Islam,
(Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat Islam, 2015), hlm.107
Comments
Post a Comment