MAKALAH
ZAKAT KEKAYAAN LAUT
![]() |
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Zakat
Dosen Pengampu: Dr. Zawawi, M.A.
Oleh:
1.
Lika
Yuliana 4117249
2.
Nailul
Faizah 4117265
3.
Ayu
Atika 4117272
JURUSAN
EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN
PEKALONGAN
2018
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang atas segala rahmat dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada hamba-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa juga kami
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini dengan memberikan sumbangan berupa materi maupun pikirannya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai kompetensi mata
kuliah Fiqih Zakat dan untuk menambah wawasan tentang bagaimana penjelasan
mengenai zakat kekayaan laut. Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Pekalongan, 16 November 2018
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 4
1.1 Latar belakang.............................................................................
4
1.2 Rumusan masalah ......................................................................... 5
1.3 Tujuan makalah ............................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................... 5
2.1 Pengertian ................................................................................... 5
2.2
Dasar
Hukum.............................................................................. . 6
2.3
Ketentuan Zakat Kekayaan Laut............................................ ....... 11
2.4
Contoh
Penerapan......................................................................
. 12
BAB III PENUTUP ................................................................................. 14
3.1 Simpulan ...................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................
15
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abu Hanifah, Hasan bin Shalih serta mazhab syi’ah Zadiyah dan para
ulama yang sejalan pikirannya dengan Abu Hanifah berpendapat, bahwa hasil
kekayaan laut itu, tidak dikenakan zakatnya, karena tidak ada nash yang
tegas dalam penetapan hukumnya.
Kemudian
ada lagi pendapat lain yang mengatakan bahwa kekayaan hasil laut itu zakatnya
20% (1/5). Ulama yang berpendapat demikian itu diantaranya Abu Yusuf.
Bagi ulama-ulama yang mewajibkan zakat kita lihat, ada tiga
pendapat yang menetapkan besar zakat yang dikeluarkan.
1. Zakatnya 1/5 (20%)
dianalogikan (diqiaskan)kepada ghanimah dan barang tambang yang dihasilkan dari
perut bumi.
2. Zakatnya 1/10 (10%)
dianalogikan kepada zakat pertanian.
3. Zakatnya 2,5%
dianalogikan kepada zakat perdagangan.
Menurut pendapat
Imam Maliki dan Syafi’i, besar zakat harus dibedakan, sesuai dengan berat
ringannya mengusahakannya, besar biaya atau tidaknya dalam pengelolaannya, apakah
20 % atau 2,5%.
Pada
zaman sekarang di Indonesia kita lihat ada usaha pengembangan zakat rumput
laut, mutiara dan penangkapan ikan dengan alat modern (kapal penangkapan ikan)
dan malahan ada yang menyebutnya dengan “pukat harimau” yang menjaring ikan
secara besaran-besaran yang mendapat protes dari nelayan-nelayan tradisianal.
Hal tersebut tidak bisa kita katakan bukan kekayaan. Malahan laut
cukup banyak menghasilkan kekayaan. Inipun merupakan karunia Allah, mengapa
tidak disyukuri sebagaimana karunia lainnya?
Mengenai
besar pengeluaran zakatnya dapat kita lihat, apakah lebih mendekati barang
tambang, pertanian (rumput laut) dan barang dagangan yang besarnya berbeda-beda
(20%, 10% dan 2,5%).
Mengingat
masalah ini adalah masalah ijtihadi (tidak ada ketentuan hokum yang pasti),
kita dapat memilih dan menimbang-nimbang, pendapat mana yang agak tepat, dan
yang terpenting tidak mengelak dari kewajiban mengeluarkan zakat.
1.2
Rumusan
Masalah
2. Bagaimana
pengertian zakat kekayaan laut?
3. Bagaimana
ketentuan zakat kekayaan laut?
1.3
Tujuan
Makalah
2. Mendeskribsikan
apa itu zakat kekayaan laut.
3. Mendeskribsikan
ketentuan apa saja tentang kekayaan laut.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Kekayaan laut yaitu segala sesuatu yang
telah diciptakan oleh Allah SWT. yang dikeluarkan dari laut, baik dari
permukaan laut maupun dasar laut yang memiliki nilai materi dan berharga dalam
kehidupan manusia, seperti emas, perak, batu mulia, intan permata, minyak bumi,
berbagai macam ikan dan tanaman laut, baik diperoleh dengan biaya maupun tanpa
biaya.
Kata rikaz selain dipakai untuk
menunjuk kanzun dan ma’din, rikaz digunakan untuk menunjuk
harta benda yang diperoleh dari laut, sehingga terdapat tiga macam aktivitas
yang dikategorikan dalam istilah rikaz, yaitu:
§
Hasil eksplorasi dari bumi atau dasar laut berupa
barang tambang (ma’din).
§
Hasil aktivitas pencarian ikan dan kekayaan laut (at-tsarawat
al-bahriyah).
§
Hasil aktivitas pencarian harta terpendam (kanzun).
Salah satu
sumber daya laut adalah benda-benda yang dieksplorasi dari dasar laut dan
memiliki nilai ekonomis, baik benda cair seperti minyak bumi,maupun benda padat
seperti emas, perak, mutiara, dan lain-lain.
§
Barang tambang yang dihasilkan dari dasar laut seperti
minyak bumi, emas, perak, dan lain-lain.
2.2 Dasar Hukum
Ada dua pendapat para ulama klasik tentang kewajiban
zakat atas kepemilikan barang tambang yang bersumber dari laut:
1. Mazhab Syafiiyah, Malikiyah, Imam Abu Yusuf
dari kalangan Hanafiyah, Hanabilah berpendapat bahwa usaha eksplorasi barang
tambang dari laut terkena kewajiban zakat.
Di antara
dasar hukum tentang wajibnya zakat kekayaan laut yang dipakai oleh pendapat
pertama ini adalah:
a. Surah al-Baqarah ayat 267:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا
لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ
وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ حَمِيدٌ
267.
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.”
b. Hadis Nabi SAW:
فِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ
“Zakat rikaz sebesar 20%.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
c. Qiyas
Kekayaan
laut yang berupa emas perak dianalogikan (di-qiyas-kan) dengan harta
tambang yang dieksplorasi dari daratan dengan persamaan ‘illat sebagai
harta yang diperoleh dari hasil bumi.
2. Ulama Mazhab Hanafi selain Imam Abu Yusuf
berpendapat bahwa kekayaan laut berupa barang tambang terkena kewajiban zakat.
Dasar
hukumnya: qiyas (analogi) yaitu harta yang didapat dari laut seperti
emas dan perak dianalogikan denngan mutiara melalui persamaan ‘illat
sebagai harta benda yang diperoleh dari laut.
§ Batu Mutiara, Minyak Wangi (Misk, Anbar)
Para ulama
klasik berbeda pendapat dalam menentukan kewajiban zakat atas kepemilikan harta
kekayaan laut berupa batu mutiara dan minyak wangi (misk, anbar):
1. Ulama Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan
Hambali berpendapat tidak adanya kewajiban zakat pada kepemilikan harta
kekayaan laut tersebut.
Dasar hukum:
a. Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin
Abdillah Ra:
“Al-‘anbar tidak termasuk ghonimah, kepemilikannya bagi orang yang
memperolehnya, abu Ubaid menjelaskan maknanya adalah tidak terkena kewajiban
membayar zakat 20%.”
b. Riwayat dari Ibnu Abbas Ra:
“Tidak ada kewajiban membayar 20% dari ‘anbar karena termasuk barang
yang dilempar oleh laut.”
Beberapa
ulama mazhab seperti Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad bin hanbal dalam sebuah
riwayat, begitu juga Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa kepemilikan kekayaan
laut tersebut terkena kewajiban zakat.dasar \hukunya sebagai berikut:
1) Diriwayatkan dari Abi Ya’la, bahwa ia
menulis sebuah surat kepada Umar bin Khatab ra. menanyakan tentang status ‘anbari
yang diperoleh dari pesisir pantai. Beliau membalasnya dengan berkata:
“Anbar itu adalah milik Allah yang Dia kepada siapa saja yang Dia
kehendaki. Dan padanya adakewajiban zakat 20%.”
2) Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dari sahabat
Ibnu Abbas Ra. bahwa beliau bertanya kepada sahabat Ibrahim bin Sa’di Ra.
tentang ‘anbar, beliau berkata:
“Kalaupun ada kewajiban zakat pada ‘anbar, maka kadarnya 20%.”
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang sesuai dengan realita
saat ini adalah pendapat yang menyatakan kewajiban zakat atas kepemilikan
kekayaan laut berupa batu mutiara dan minyak wangi karena memiliki niali
ekonomis yang tinggi. Para ulama yang tidak mewajibkan zakat melihat realita
saat itu, mereka yang berusaha memiliki batu mutiara dan minyak wangi tidak
bertujuan mendapatkan keuntungan melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Adapun saat
ini, kekayaan laut dengan beragam jenisnya dieksplorasi untuk tujuan komersial
sehingga sudah terkena kewajiban zakat sebagaimana jenis kekayaan lain, seperti
barang tambang, hasil pertanian, dan perkebunan.
§ Ikan Dan Hewan Laut
Para ulama
klasik berbeda pandangan dalam menentukan hukum kewajiban membayar zakat atas
hasil usaha kekayaan laut berupa ikan dengan beragam jenisnya, berikut
penjelasannya:
1. Ulama Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan
Hambali berpendapat bahwa orang yang mendapatkan ikan tidak berkewajiban
membayar zakat.
Adapun landasan hukumnya:
1) Sejak zaman Rasulullah SAW. serta para
sahabat, ikan laut sudah dikenal dan dikonsumsioleh beberapa kalangan sahabat,
namun tidak ada ketentuan yang mengatur kewajiban zakatnya baik melalui
Al-Quran maupun Sunnah.
2) Ikan laut dapat dikategorikan sebagai hewan
buruan, sedangkan hewan buruan di darat tidak termasuk objek zakat, begitu pula
ikan laut yang merupakan hewan buruan di laut tidak termasuk objek zakat.
2. Imam Umar bin abdul Aziz dan Imam Ibnu
Hambal dalam sebuah riwayat berpendapat kekayaan laut berupa ikan laut dengan
beragam jenisnya terkena kewajiban zakat.
Dasar hukumnya sebagai berikut:
1) Surah al-Baqarah ayat 267:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ
مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ
وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ حَمِيدٌÇËÏÐÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
2) Ikan
laut merupakan salah satu bentuk kekayaan yang berharga dalam kehidupan menusia
sehingga menjadi objek zakat sebagaimana jenis harta benda yang lain, seperti
harta tambang dan harta terpendam.
Dari dua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapat paling
kuat adalah pendapat yang mewajibkan zakat atas kepemilikan ikan laut karena
sesuai dengan realita, usaha penangkapan ikan dapat menghasilkan keuntungan
besar berbeda dengan era ulama klasik, usaha penangkapan ikan tidak untuk
mendapatkan keuntungan, melainkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Hal ini ditegaskan oleh Syekh Abu Zahrah bahwa “Usaha penangkapan
ikan di era ulamadahulu masih sangat terbatas hanya dilakukan oleh individu
sekedar memenuhi kebutuhan keluarga setiap hari, seandainya para ulama dahulu
hidup di era sekarang menyaksikan realita, niscaya mendukung kewajiban zakat
atas usaha penangkapan ikan, perbedaan pendapat antara ulama kontemporer dengan
ulama dahulu didasarkan atas perbedaan masa dan realita bukan perbedaan dalil
dan dasar hukum.”
2.3 Ketentuan
Zakat Kekayaan Laut
Kekayaan laut meliputi dengan
beragam jenisnya, batu mutiara dan wangi-wangian yang dikelola untuk
diperdagangkan menjadi objek wajib zakat dengan ketentuan seperti zakat
perdagangan, yaitu:
a. Hasil
usaha mencapai nisab senilai 85 gram emas murni;
b. Haul:
pelaksanaan pembayaran zakat setelah usaha berjalan satu tahun;
c. Kadar
zakat 2,5%
d. Biaya
operasional (eksplorasi, pencarian, dan penjualan) menjadi pengurang;
e. Hasil
bersih yang masih mencapai nisab terkena wajib zakat sebesar 2,5%
Sejalan dengan ketentuan ulama tersebut, pasal 19 dari Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2014 menyatakan:
1) Hasil
perikanan yang dikenakan zakat mencangkup hasil budidaya dan hasil tangkap
ikan.
2) Nisab
zakat atas hasil perikanan yang dimaksud pada ayat (1) senilai 85 gram emas.
3) Kadar
zakat atas hasil perikanan sebesar 2,5%.
Sedangkan waktu pembayaran zakat
dijelaskan pada pasal 20 yang berbunyi : zakat hasil perikanan ditunaikan pada
saat panen dan dibayarkan melalui amil zakat resmi.
2.4 Contoh
Penerapan
Pak
Wahyu merupakan sebuah nelayan yang bekerja mencari ikan di wilayah Jepara.
Penghasilan setiap bulan dari penjualan ikan hasil tangkapannya yaitu Rp.
15.000.000,-. Beliau memiliki simpanan di bank dan piutang dengan mengeluarkan
biaya operasional dan menanggung beberapa kewajiban, berikut perinciannya :
· Pendapatan (per bulan)
|
A. Hasil produksi tangkapan ikan
|
Rp. 15.000.000,-
|
|
B. Hasil produksi tumbuhan laut (misal rumput laut, dll)
|
Rp. 5.000.000,-
|
|
C. Hasil Produksi barang laut lainnya (karang, mutiara, dll)
|
-
|
|
D.
Jumlah total
pendapatan
|
Rp. 20.000.000,-
|
· Pengeluaran (per bulan)
|
E.
Biaya Operasional
|
Rp. 2.000.000,-
|
|
F.
Biaya Pemasaran dan
distribusi
|
Rp. 2.000.000,-
|
|
G.
Hutang
|
Rp. 1.500.000,-
|
|
H.
Pajak dan retribusi
pemerintah
|
Rp 1.000.000,-
|
|
I.
Jumlah total
pengeluaran
|
Rp. 6.500.000,-
|
·
Objek zakat
Jumlah total pendapatan (x12) –
Jumlah total pengeluaran (x12) = Rp. 20.000.000,- (x12) – Rp. 6.500.000,- (x12)
= Rp. 240.000.000,- – Rp.78.000.000,-
= Rp. 162.000.000,-
·
Nisab Zakat
85 gram emas ( asumsi Rp. 500.000,-)
= 85 x Rp. 500.000,-
= Rp. 42.500.000,-
·
Kadar Zakat
2,5
% x Rp. 162.000.000,-
=
Rp. 4.050.000,-
Jadi
zakat yang harus dikeluarkan oleh Pak Wahyu yaitu sebesar Rp. 4.050.000,-.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pengertian (barang
tambang) Ma’din, Kanz dan Rikaz. Barang tambang dalam bahasa Arab disebut
dengan ma’din kanz. Ibnu athir menyebut dalam an-Nihaya bahwa al-Ma’adin
berarti tempat dimana kekayaan bumi seperti emas, perak, tembaga dan
lain-lainnya keluar. Sedangkan kanz adalah tempat tertimbunya harta benda karena perbuatan
manusia.
Dalam menentukan
apakah barang tambang dan hasil laut dikenakan zakat terdapat banyak pendapat
ulama. Akan tetapi dalam penentuan zakat barang tambang, pendapat Hambali, dan orang-orang yang
sependapat dengan dia merupakan pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini di
dukung oleh maksud kata ma’din menurut pengertian bahasa di samping diperkuat
oleh pandangan logis, karena tidak ada bedanya antara barang tambang padat
dengan barang tambang cair, juga tidak ada bedanya antara yang di olah dengan
yang tidak. Tidak ada beda antara besi dan timah, serta antara minyak bumi
dengan balerang. Semuanya itu merupakan barang berharga.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Zawawi, 2018.
Panduan Zakat Praktis (Reaktualisasi Zakat di Era Modern). ...

Comments
Post a Comment