Skip to main content

Makalah Kaidah Fikih Kedua اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami dari mata kuliah Kaidah Fiqih dengan tema “اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ” ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
            Kami sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Zawawi, M.A. selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah Kaidah Fiqih di IAIN Pekalongan yang telah memberikan tugas ini kepada kami, serta kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan yang bersifat membangun demi memperbaiki makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Demikian makalah ini kami susun, kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat baik bagi diri kami sendiri maupun bagi orang yang membacanya guna menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai kaidah fiqih.

Pekalongan, Maret 2019

Penyusun


DAFTAR ISI











BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah fiqih adalah masalah yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman, sedangkan nash al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shohihah yang menjadi dasar hukum masalah fiqih terbatas, karena keduanya terputus dan tidak berkembang lagi dengan wafatnya Rasulullah Saw., sedangkan sudah dimaklumi bersama bahwa sesuatu yang terbatas tidak mungkin bisa mengiringi sesuatu yang tak terbatas dan selalu berkembang, maka para ulama’ berjuang dan berusaha keras untuk merumuskan berbagai kaedah yang terambil dari kedua wahyu tersebut untuk bisa digunakan sepanjang masa, sampaipun terhadap masalah-masalah yang belum pernah ada wujudnya pada zaman turunnya wahyu.
Kaedah ini terbagi menjaadi 2, yakni kaedah yang berhubungan dengan dalil (ushul fiqh) dan kaedah yang berhubungan langsung dengan amal perbuatan hamba (qawa’id fiqhiyyah).[1] Dari sini, diketahuilah betapa pentingnya ilmu fiqih ini. Melalui makalah ini, penyusun akan memaparkan materi tentang salah satu qawa’id fiqhiyyah yakni اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ.

B. Rumusan Masalah

1.    Apa makna kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ ?
2.    Bagaimana dasar dalil kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ ?
3.    Bagaimana kedudukan kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ ?
4.    Bagaimana contoh penerapan kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ ?

C. Tujuan Penulisan

1.    Untuk mengetahui makna kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ.
2.    Untuk dasar dalil kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ.
3.    Untuk mengetahui kedudukan kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ.
4.    Untuk mengetahui contoh penerapan kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Makna Kaedah

اليَقِيْنُ  secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil kata kata bahasa Arab يَقَنَ اْلمَاءُ فِي اْلحَوْضِ: yang artinya air itu tenang dikolam.
Adapunالشَّكُّ  secara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَّكُّ.
     Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang itu bertingkat tingkat, yaitu:
1.      اليَقِيْنُ: keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
2.      الظَّنُّ : persangkaan kuat
Contoh: apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah haram, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang dinamakan dengan الظَّنُّ.
3.      الشَّكُّ: keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa menguatkan salah satu diantara keduanya.
4.      الوَهْمُ : persangkaan lemah
     Contoh: pada kasus الظَّنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ.
Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali, maka itulah kebohongan (الجَهل) dan ia terbagi menjadi dua macam:
1.      الجَهْلُ البَسِيْطُ (kebodohan yang ringan) yaitu orang yang tidak tahu dia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui.
2.       الجَهْلُ المُرَكَّبُ(keboodohan berat) yaitu orang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahuinya.
Jadi makna kaedah diatas adalah:
“bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan sebuah dalil yang meyakini juga, dalam artian tidak bisa dihilangkan hanya sekedar sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukum bahwa itu telah terjadi kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga”.[2]
Didalam kitab-kitab fikih banyak membicarakan tentang keyakinan dan keraguan, seperti orang yang sudah yakin suci dari hadas kemudian merasa ragu, apakah wudhunya sudah batal atau belum, maka dia tetap dalam keadaan suci. Akan tetapi untuk kehati-hatian, lebih utama adalah memperbarui wudhunya. Begitu juga seorang istri mengaku belum diberi nafkah untuk beberapa waktu, maka yang dianggap benar adalah istri, karena yang meyakinkan adanya tanggung jawab suami terhadap istrinya untuk memberi nafkah, kecuali suami mempunyai bukti yang menyakinkan. Contoh lain adalah seorang debitor mengaku telah membayar uatangnya kreditor tetapi si kreditor tidak mengakuinya, maka yang meyakinkan adalah belum ada pembayaran utang, kecuali ada bukti lain yang meyakinkan, seperti kuitansi pembayaran yang sah. Lain halnya dengan kasus misalnya, si A mengaku bahwa si B berhutang kepadanya, tetapi si B menyatakan bahwa dia ditak mempunyai hutang kepada si A. Maka, yang diakui adalah perjataan si B, karena pada asalnya tidak ada utang piutang antara si A dan B. Kecuali si A mempunyai bukti yang sah dan meyakinkan bahwa si B mempunyai hutang kepadanya, misalnya kuitansi penyerahan uang dari si A kepada si B.
Contoh lain dalam kasus fiqh siyasah tentang pemilihan kepala daerah (KPUD) menyatakan bahwa kelompok A yang menang dan kelompok B yang kalah. Kemudian kelompok B mengajukan gugatan bahwa seharusnya kelompok A yang kalah dan kelompok B yang menang. Alasannya karena adanya kecurangan. Maka dalam hal ini, yang meyakinkan adalah bahwa telah terjadi pemilihan umun dan kelompok A yang menang. Kecuali apabila kelompok B memberikan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan pula bahwa kelompoknya yang menang. Contoh lain dalam fiqh jinayah, apabilaseseorang menyangka kepada orang lain melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah dan meyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan kejahatan. Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah. Selain itu secara moral, seorang muslim harus memiliki husnu zhan (berprasangka baik) selalu ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik.[3]

B.     Dalil Kaedah

Kaedah ini terambil dari pemahaman banyak ayat dan hadist Rosululloh SAW diantaraya:


Firman Allah Ta’ala:
وَمَا يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ أِلَّا ظَنَّا أِنَّ آلظَّنَّ لَا يُغْنِى مِنَ اُلْحَقِّ شَيْئًا
“dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhanya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran” (QS. Yunus: 36).
Hadist Rasulullah SAW:
عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أِذَا وَجَدَ أَحَدٌكُمُ فِي بَطُنِهِ شَيْعًا فَأَ شُكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيءٌ أَمْ لاَ فَلَا يَخْرُ جَنَّ مِنَ الْمَسجِدِ حَتَّى يَسِّمَعُ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menentukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belu, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau” (HR. Muslim: 362)
Imam Nawawi berkata: “Hadits ini adalah salah satu pokok islamm dan sebuah kaedah yang besar dalam maslah fiqih, yaitu bahwa segala sesuatu itu dihukum bahwa dia tetap pada hukum. Asalnya sehigga diyakini ada yang bertentangan denganya, dan tidak membayangkan baginya sebuah keraguan yang muncul.”  (lihat Syarah Sholih Muslim 4/39)
عَنْ عَبَّاد ِبْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُمَّ عَلَيْهِ وَسلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ أِلَيهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لاَيَنْفَتِلْ لَا يَنْصَرِ فْ حَتَّى يَسمَعُ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Dari Abbad bin Tamin dari pamanya berkata: “bahwasanya ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah bahwa dia merasakan seakan-akan kenut dalam sholatnya. Maka Rasulullah bersabda: “janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Bukhari: 137, Muslim:361)
Imam Al Khotkhobi berkata: “hadist ini menunjukan bahwa keraguan tidak mengalahkan sesuatu yang yakin.” (lihat Ma’alimus Sunnah 1/129)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الحُدَّرِيَّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُ كُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَليَطْرَحِ الشَّكَّ ولْيَبْنِعَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَ تَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلَّمَ فَإِنَّ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًالِأَرْبَعٍ كَانَتَاتَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: Rosululloh bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rokaatkah dia mengerjakan sholat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakini kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu sholat lima rokaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan sholatnya, dan jikalau ternyata sholatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim:571)
عَنْ عَبْدِ الرَّ حْمَنِ بْنِ عَوْ فٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا سَهَا أَحَدُ كُمْ فِي صَلَا تِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَا حِدَةً صَلَّي أَوْ ثِثْنَتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَا حِدَةٍ فَإِ نْ لَمْ يَدْرِ ثِثْنَتَيْنِ صَلَى أَوْ ثَلَا ثَا فَلْيَبْنِ عَلَى ئِثْنَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ  ثَلاَثَا صَلَّى أَوْ أَرْبَ‘ًا فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلاَثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ.
Dari Abdur Rohman bin auf berkata: “saya mendengar Rasululah hendak bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia tidak mengetahui apakah dia sudah shalat satu atau dua raokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin apakah sudah sholat sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat dua rokaat, begitulah pula apabila dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat tiga ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia baru sholat tiga rokaat, lalu setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.” (HR. Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Dari Abdullah bin Umar berkata:”Rosululloh bersabda: “janganlah kalian puasa sehingga kalian melihat hilal Ramadhan, juga janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika hilal itu tertutupi mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.” (HR. Nasa’i 2122 dan lainnya dengan sanad shohih)
     Tatkala mengomentari hadis yang mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid berkata: “bahwa sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan, namun hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh memerintahkan manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinann tentang keberadaan mereka masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan yang ditandai dengan melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan bulan tiga puluh hari.”

C.     Kedudukan Kaedah

Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, baik yang berhubungan dengan fiqih maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’ menyatakan bahwa kaedah ini mencangkup tiga perempat masalah fiqih atau mungkin malah lebih. (Lihat Al Asybah Nadlo’ir oleh Imam As Suyuthi hal:51)
Imam Nawawi berkata: “kaedah ini adalah sebuah kaedah pokok yang mencangkup semua permasalahan, dan tidak keluar darinya kecuali beberapa masalah saja.” (Al Majmu’ Syarah al Muhadzab 1/205)
Imam Ibnu Abdil Bar berkata: “Para ulama” telah sepakat bahwa orang yang sudah hadats lalu dia ragu-ragu ataukah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum? Bahwasannya keraguan ini tidak berfungsi sama sekali, dan dia wajib untuk berwudlu kembali. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan itu tidak digunakan menurut para ulama’ dan yang dijadikan patokan adalah sesuatu yang menyakinkan ini adalah sebuah dasar pokok dalam permasalahan fiqih.” (Lihat At Tamhid 5/18, 25, 27).
Imam Al Qorrofi berkata: “Ini adalah sebuah kaedah yang disepakati oleh para ulama’, bahwasannya sesuatu yang meragukan dianggap seperti tidak ada.” (Al Furuq 1/111).
Imam Ibnu Najjar berkata: “kaedah ini tidak hanya berlaku dalam masalah fiqih saja, bahkan bisa dijadikan dalil bahwasannya semua perkara yang baru itu pada dasarnya dihukumi tidak ada sampai diyakini keberadaanya, sehingga bisa kita katakan bahwa pada dasarnya orang itu tidak diberi beban syar’i sehingga datang dalil yang berbeda dengan pokok ini, pada dasarnya sebuah perkataan itu dibawa pada hakekat maknanya, pada dasarnya sebuah perintah itu menunjukkan pada sebuah kewajiban dan sebuah larangan itu menunjukkan pada keharaman serta masalah lainnya.”

D.    Contoh Penerapan Kaedah

Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa kaedah ini mencakup hampir semua permasalahan syar’i, maka disini cukup disebut sebagiannya saja sebagai sebuah contoh :
1.      Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudhu, lalu ragu apakah dua sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib berwudhu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudhu, sedang batalnya masih diragukan.
2.      Dan begitu pula sebaliknya, apabila seorang yakin bahwa dia telah batal wudhunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudhu kembali ataukah belum? Maka dia wajib wudhu lagi karena yang yakin sekarang adalah batalnya wudhu.
3.      Barangsiapa yang berjalan diperkampungan lalu kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
4.      Barangsiapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek atau berlumpur yang ada kemungkinan bawhwa air itu najis, maka tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
5.      Barangsiapa yang telah sah nikahnya, lalu dia ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnnya tetap sah dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
6.      Orang yang pergi meinggalkan kampung halaman dalam keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi hartanya, sehingga datang berita yang menyakinkan bahwa telah meninggal dunia atau dihukumi oleh pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
7.      Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia tetap dihukimi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita menyakinkan bahwa suaminya telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
8.      Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu dia ragu apakah dia sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya lagi kecuali kalau pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah melunasi hutang atau ada bukti kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua orang saksi yang menyatakan bahwa hutangnya telas lunas.[4]
Wallahu a’lam

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, makna dari kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ adalah bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan sebuah dalil yang meyakini juga, dalam artian tidak bisa dihilangkan hanya sekedar sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukum bahwa itu telah terjadi kecuali dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga.
Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, baik yang berhubungan dengan fiqih maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’ menyatakan bahwa kaedah ini mencangkup tiga perempat masalah fiqih atau mungkin malah lebih.




DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Ahmad. 2016. Kaidah-kaidah praktis memahami fiqih Islami.Jawa Timur: Yayasan Al-Furqon Al Islami.
Rohayana, Ade Dedi. 2012. Ilmu Kaidah Fiqh. Cetakan ke- 1. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.






[1] Ahmad Sabiq, Kaidah-kaidah praktis memahami fiqih Islami, (Jawa Timur: Yayasan Al-Furqon Al Islami, 2016), hlm. Ix-x.
[2] Ahmad Sabiq, Kaidah-kaidah praktis memahami fiqih Islami, (Jawa Timur: Yayasan Al-Furqon Al Islami, 2016), hlm. 28-29.
[3] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Kaidah Fiqh, cet. 1, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2012), hlm. 84.
[4]Ahmad Sabiq, Kaidah-kaidah praktis memahami fiqih Islami…, hlm. 30-35.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

MAKALAH PERTUMBUHAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Makro Islam Dosen Pengampu: Ahmad Syukron, M. EI Penyusun: Kelas: G JURUSAN EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ISLAM PEKALONGAN TAHUN 2018 KATA PENGANTAR             Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, materi yang dibahas adalah “Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi” . Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.             Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah waw...

Makalah Kaidah Fikih الأموربمقاصدها (al-umuuru bimaqaashidiha)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A.      Latar B elakang ....................................................................................... 1 B.      Rumusan M asalah .................................................................................. 2 C.      Tujuan dan M anfaat ................................................................................ 2 BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3 A.      Makna Kaidah Fikih الامور بمقاصدها ....................................................... 3 B.      ...

Makalah Konsep Dasar Fiqh Muamalah

TUGAS MAKALAH KONSEP DASAR FIQIH MUAMALAH Makalah I ni D isusun U ntuk M emenuhi T ugas Fiqih Muamalah Dosen Pengampu : Ahmad Syukron, M.EI O leh   : KELAS : E JURUSAN EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITU T AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN 2019 K ATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah swt atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Ahmad Syukron, M.EI selaku dosen kami dalam Mata Kuliah Fiqih Muamalah dan kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca . U ntuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami , k ami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini . Oleh ...