KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa. Karena dengan rahmat, karunia, serta taufiq dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah kami dari mata kuliah Kaidah Fiqih dengan tema “اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ” ini dengan baik,
meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Kami sampaikan terima kasih kepada Bapak
Dr. Zawawi, M.A. selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah Kaidah Fiqih di IAIN
Pekalongan yang telah memberikan tugas ini kepada kami, serta kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan yang bersifat membangun demi memperbaiki
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Demikian makalah ini kami susun, kami sangat
berharap makalah ini dapat bermanfaat baik bagi diri kami sendiri maupun bagi
orang yang membacanya guna menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai kaidah
fiqih.
Pekalongan, Maret 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah fiqih adalah masalah yang
selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman, sedangkan nash al-Qur’an
dan as-Sunnah ash-Shohihah yang menjadi dasar hukum masalah fiqih terbatas,
karena keduanya terputus dan tidak berkembang lagi dengan wafatnya Rasulullah
Saw., sedangkan sudah dimaklumi bersama bahwa sesuatu yang terbatas tidak
mungkin bisa mengiringi sesuatu yang tak terbatas dan selalu berkembang, maka
para ulama’ berjuang dan berusaha keras untuk merumuskan berbagai kaedah yang
terambil dari kedua wahyu tersebut untuk bisa digunakan sepanjang masa,
sampaipun terhadap masalah-masalah yang belum pernah ada wujudnya pada zaman
turunnya wahyu.
Kaedah ini terbagi menjaadi 2,
yakni kaedah yang berhubungan dengan dalil (ushul fiqh) dan kaedah yang
berhubungan langsung dengan amal perbuatan hamba (qawa’id fiqhiyyah).[1]
Dari sini, diketahuilah betapa pentingnya ilmu fiqih ini. Melalui makalah ini,
penyusun akan memaparkan materi tentang salah satu qawa’id fiqhiyyah yakni اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ.
B. Rumusan Masalah
1. Apa makna kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ ?
2. Bagaimana dasar dalil kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ ?
3. Bagaimana kedudukan kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ ?
4. Bagaimana contoh penerapan kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui makna kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ.
2. Untuk dasar dalil kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ.
4. Untuk mengetahui contoh penerapan kaedah
اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Kaedah
اليَقِيْنُ secara
bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Terambil kata kata bahasa Arab يَقَنَ اْلمَاءُ فِي اْلحَوْضِ: yang artinya air itu tenang dikolam.
Adapunالشَّكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan.
Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana
tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan
salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَّكُّ.
Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang
diketahui oleh seseorang itu bertingkat tingkat, yaitu:
1. اليَقِيْنُ: keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
2. الظَّنُّ : persangkaan kuat
Contoh: apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu
apakah halal ataukah haram, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya
berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat
inilah yang dinamakan dengan الظَّنُّ.
3.
الشَّكُّ: keraguan tanpa bisa memilih dan
tidak bisa menguatkan salah satu diantara keduanya.
4.
الوَهْمُ : persangkaan lemah
Contoh: pada kasus
الظَّنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu
halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ.
Adapun kalau seseorang tidak mengetahui sama sekali, maka
itulah kebohongan (الجَهل) dan ia terbagi menjadi dua macam:
1.
الجَهْلُ البَسِيْطُ (kebodohan yang ringan) yaitu orang yang tidak tahu dia menyadari bahwa
dirinya tidak mengetahui.
2.
الجَهْلُ المُرَكَّبُ(keboodohan berat) yaitu orang yang tidak tahu tapi mengaku
mengetahuinya.
Jadi makna kaedah diatas adalah:
“bahwa sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan
kecuali dengan sebuah dalil yang meyakini juga, dalam artian tidak bisa
dihilangkan hanya sekedar sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang diyakini
belum terjadi maka tidak bisa dihukum bahwa itu telah terjadi kecuali dengan
sebuah dalil yang meyakinkan juga”.[2]
Didalam kitab-kitab fikih banyak membicarakan tentang keyakinan dan
keraguan, seperti orang yang sudah yakin suci dari hadas kemudian merasa ragu,
apakah wudhunya sudah batal atau belum, maka dia tetap dalam keadaan suci. Akan tetapi untuk kehati-hatian, lebih utama adalah
memperbarui wudhunya. Begitu juga seorang istri mengaku belum diberi nafkah
untuk beberapa waktu, maka yang dianggap benar adalah istri, karena yang
meyakinkan adanya tanggung jawab suami terhadap istrinya untuk memberi nafkah,
kecuali suami mempunyai bukti yang menyakinkan. Contoh lain adalah seorang
debitor mengaku telah membayar uatangnya kreditor tetapi si kreditor tidak
mengakuinya, maka yang meyakinkan adalah belum ada pembayaran utang, kecuali
ada bukti lain yang meyakinkan, seperti kuitansi pembayaran yang sah. Lain
halnya dengan kasus misalnya, si A mengaku bahwa si B berhutang kepadanya,
tetapi si B menyatakan bahwa dia ditak mempunyai hutang kepada si A. Maka, yang
diakui adalah perjataan si B, karena pada asalnya tidak ada utang piutang
antara si A dan B. Kecuali si A mempunyai bukti yang sah dan meyakinkan bahwa
si B mempunyai hutang kepadanya, misalnya kuitansi penyerahan uang dari si A
kepada si B.
Contoh
lain dalam kasus fiqh siyasah tentang pemilihan kepala daerah (KPUD) menyatakan
bahwa kelompok A yang menang dan kelompok B yang kalah. Kemudian kelompok B
mengajukan gugatan bahwa seharusnya kelompok A yang kalah dan kelompok B yang
menang. Alasannya karena adanya kecurangan. Maka dalam hal ini, yang meyakinkan
adalah bahwa telah terjadi pemilihan umun dan kelompok A yang menang. Kecuali
apabila kelompok B memberikan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan pula bahwa
kelompoknya yang menang. Contoh lain dalam fiqh jinayah, apabilaseseorang
menyangka kepada orang lain melakukan kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak
dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah dan meyakinkan bahwa orang tersebut
telah melakukan kejahatan. Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah.
Selain itu secara moral, seorang muslim harus memiliki husnu zhan
(berprasangka baik) selalu ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik.[3]
B. Dalil Kaedah
Kaedah ini terambil
dari pemahaman banyak ayat dan hadist Rosululloh SAW diantaraya:
Firman Allah Ta’ala:
وَمَا يَتَّبِعُ اَكْثَرُهُمْ أِلَّا ظَنَّا أِنَّ آلظَّنَّ
لَا يُغْنِى مِنَ اُلْحَقِّ شَيْئًا…
“dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhanya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran” (QS. Yunus: 36).
Hadist Rasulullah SAW:
عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أِذَا وَجَدَ أَحَدٌكُمُ فِي بَطُنِهِ شَيْعًا فَأَ
شُكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيءٌ أَمْ لاَ فَلَا يَخْرُ جَنَّ مِنَ
الْمَسجِدِ حَتَّى يَسِّمَعُ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari
Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “apabila salah seorang diantara
kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menentukan apakah
sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belu, maka jangan membatalkan sholatnya
sampai dia mendengar suara atau mencium bau” (HR. Muslim: 362)
Imam
Nawawi berkata: “Hadits ini adalah salah satu pokok islamm dan sebuah kaedah yang
besar dalam maslah fiqih, yaitu bahwa segala sesuatu itu dihukum bahwa dia
tetap pada hukum. Asalnya sehigga diyakini ada yang bertentangan denganya, dan
tidak membayangkan baginya sebuah keraguan yang muncul.” (lihat Syarah Sholih Muslim 4/39)
عَنْ عَبَّاد ِبْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُمَّ عَلَيْهِ وَسلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ أِلَيهِ أَنَّهُ يَجِدُ
الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لاَيَنْفَتِلْ لَا يَنْصَرِ فْ حَتَّى يَسمَعُ
صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Dari Abbad bin
Tamin dari pamanya berkata: “bahwasanya ada seseorang yang mengadu kepada
Rasulullah bahwa dia merasakan seakan-akan kenut dalam sholatnya. Maka
Rasulullah bersabda: “janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar
suara atau mencium bau.” (HR. Bukhari: 137, Muslim:361)
Imam Al Khotkhobi
berkata: “hadist ini menunjukan bahwa keraguan tidak mengalahkan sesuatu yang
yakin.” (lihat Ma’alimus Sunnah 1/129)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الحُدَّرِيَّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُ كُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ
صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَليَطْرَحِ الشَّكَّ ولْيَبْنِعَلَى مَا
اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَ تَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلَّمَ فَإِنَّ كَانَ
صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلاَتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًالِأَرْبَعٍ
كَانَتَاتَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ
Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: Rosululloh bersabda: “Apabila salah
seorang diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya, sehingga tidak mengetahui
sudah berapa rokaatkah dia mengerjakan sholat, maka hendaklah dia membuang
keraguan dan lakukanlah yang dia yakini kemudian dia sujud dua kali sebelum
salam, kalau ternyata dia itu sholat lima rokaat maka kedua sujud itu bisa
menggenapkan sholatnya, dan jikalau ternyata sholatnya sudah sempurna maka kedua
sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR.
Muslim:571)
عَنْ عَبْدِ
الرَّ حْمَنِ بْنِ عَوْ فٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا سَهَا أَحَدُ كُمْ فِي صَلَا تِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَا
حِدَةً صَلَّي أَوْ ثِثْنَتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى وَا حِدَةٍ فَإِ نْ لَمْ يَدْرِ
ثِثْنَتَيْنِ صَلَى أَوْ ثَلَا ثَا فَلْيَبْنِ عَلَى ئِثْنَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ
يَدْرِ ثَلاَثَا صَلَّى أَوْ أَرْبَ‘ًا
فَلْيَبْنِ عَلَى ثَلاَثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ.
Dari Abdur Rohman bin auf berkata: “saya mendengar
Rasululah hendak bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian lupa dalam
sholatnya, lalu dia tidak mengetahui apakah dia sudah shalat satu atau dua
raokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat satu rokaat, juga apabila dia
tidak yakin apakah sudah sholat sholat dua ataukah tiga rokaat, maka anggaplah
bahwa dia baru sholat dua rokaat, begitulah pula apabila dia tidak mengetahui
apakah dia sudah sholat tiga ataukah empat rokaat maka anggaplah bahwa dia baru
sholat tiga rokaat, lalu setelah itu sujudlah dua kali sebelum salam.” (HR.
Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى
تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Dari Abdullah bin Umar berkata:”Rosululloh bersabda:
“janganlah kalian puasa sehingga kalian melihat hilal Ramadhan, juga janganlah
kalian berbuka sehingga kalian melihat hilal Syawal dan jika hilal itu
tertutupi mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.” (HR. Nasa’i
2122 dan lainnya dengan sanad shohih)
Tatkala
mengomentari hadis yang mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid
berkata: “bahwa sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah
keraguan, namun hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh
memerintahkan manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinann tentang
keberadaan mereka masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan
yang ditandai dengan melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan bulan
tiga puluh hari.”
C. Kedudukan
Kaedah
Kaedah ini memiliki kedudukan yang sangat agung dalam
Islam, baik yang berhubungan dengan fiqih maupun lainnya, bahkan sebagian
ulama’ menyatakan bahwa kaedah ini mencangkup tiga perempat masalah fiqih atau
mungkin malah lebih. (Lihat Al Asybah Nadlo’ir oleh Imam As Suyuthi hal:51)
Imam Nawawi berkata: “kaedah ini adalah sebuah kaedah
pokok yang mencangkup semua permasalahan, dan tidak keluar darinya kecuali
beberapa masalah saja.” (Al Majmu’ Syarah al Muhadzab 1/205)
Imam Ibnu Abdil Bar berkata: “Para ulama” telah sepakat
bahwa orang yang sudah hadats lalu dia ragu-ragu ataukah dia sudah berwudlu
kembali ataukah belum? Bahwasannya keraguan ini tidak berfungsi sama sekali,
dan dia wajib untuk berwudlu kembali. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan itu
tidak digunakan menurut para ulama’ dan yang dijadikan patokan adalah sesuatu
yang menyakinkan ini adalah sebuah dasar pokok dalam permasalahan fiqih.”
(Lihat At Tamhid 5/18, 25, 27).
Imam
Al Qorrofi berkata: “Ini adalah sebuah kaedah yang disepakati oleh para ulama’,
bahwasannya sesuatu yang meragukan dianggap seperti tidak ada.” (Al Furuq
1/111).
Imam
Ibnu Najjar berkata: “kaedah ini tidak hanya berlaku dalam masalah fiqih saja,
bahkan bisa dijadikan dalil bahwasannya semua perkara yang baru itu pada
dasarnya dihukumi tidak ada sampai diyakini keberadaanya, sehingga bisa kita
katakan bahwa pada dasarnya orang itu tidak diberi beban syar’i sehingga datang
dalil yang berbeda dengan pokok ini, pada dasarnya sebuah perkataan itu dibawa
pada hakekat maknanya, pada dasarnya sebuah perintah itu menunjukkan pada
sebuah kewajiban dan sebuah larangan itu menunjukkan pada keharaman serta
masalah lainnya.”
D. Contoh
Penerapan Kaedah
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa kaedah ini mencakup hampir semua permasalahan syar’i, maka disini cukup
disebut sebagiannya saja sebagai sebuah contoh :
1.
Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah
berwudhu, lalu ragu apakah dua sudah batal ataukah belum, maka dia tidak wajib
berwudhu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudhu, sedang batalnya masih
diragukan.
2.
Dan begitu pula sebaliknya, apabila seorang yakin
bahwa dia telah batal wudhunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudhu
kembali ataukah belum? Maka dia wajib wudhu lagi karena yang yakin sekarang
adalah batalnya wudhu.
3.
Barangsiapa yang berjalan diperkampungan lalu
kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada kemungkinan
bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya karena pada
dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan
sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah tanda-tanda kuat bahwa itu
adalah air najis, misalkan bau pesing dan lainnya.
4.
Barangsiapa yang berjalan disebuah jalanan yang
becek atau berlumpur yang ada kemungkinan bawhwa air itu najis, maka tidak
wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya
air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
5.
Barangsiapa yang telah sah nikahnya, lalu dia
ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnnya tetap sah
dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
6.
Orang yang pergi meinggalkan kampung halaman dalam
keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka tetap
dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi hartanya,
sehingga datang berita yang menyakinkan bahwa telah meninggal dunia atau
dihukumi oleh pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
7.
Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka
dia tetap dihukimi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak
boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita menyakinkan bahwa suaminya
telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan gugatan
cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya hubungan
pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
8.
Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu
dia ragu apakah dia sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib melunasinya
lagi kecuali kalau pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah melunasi
hutang atau ada bukti kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada dua orang saksi yang
menyatakan bahwa hutangnya telas lunas.[4]
Wallahu a’lam
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa, makna dari kaedah اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ adalah bahwa
sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan sebuah dalil yang meyakini juga, dalam artian tidak bisa dihilangkan
hanya sekedar sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang diyakini belum
terjadi maka tidak bisa dihukum bahwa itu telah terjadi kecuali dengan sebuah
dalil yang meyakinkan juga.
Kaedah ini memiliki
kedudukan yang sangat agung dalam Islam, baik yang berhubungan dengan fiqih
maupun lainnya, bahkan sebagian ulama’ menyatakan bahwa kaedah ini mencangkup
tiga perempat masalah fiqih atau mungkin malah lebih.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Ahmad. 2016. Kaidah-kaidah praktis
memahami fiqih Islami.Jawa Timur: Yayasan Al-Furqon Al Islami.
Rohayana, Ade Dedi. 2012. Ilmu Kaidah Fiqh.
Cetakan ke- 1. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.
[1] Ahmad Sabiq, Kaidah-kaidah
praktis memahami fiqih Islami, (Jawa
Timur: Yayasan Al-Furqon Al Islami, 2016), hlm. Ix-x.
[2] Ahmad Sabiq, Kaidah-kaidah
praktis memahami fiqih Islami, (Jawa
Timur: Yayasan Al-Furqon Al Islami, 2016), hlm. 28-29.
[3] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Kaidah Fiqh,
cet. 1, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2012), hlm. 84.
Comments
Post a Comment